Inkonsistensi Penetapan Upah Minimum 2023

Author : Humas | Rabu, 07 Desember 2022 09:22 WIB | Harian Bhirawa - Harian Bhirawa

Oleh :
Wahyu Hidayat R
Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Jika Mendasarkan pada formula hitung penyesuaian upah menurut PP No. 36/2021 diperkirakan terjadi kenaikan upah minimum dengan persentase kenaikan yang berbeda antar daerah atau kemungkinan tidak ada kenaikan upah. Artinya janji Kemenaker adanya kenaikan upah sebenarnya tidak berlaku pada semua daerah.

Sebagai gambaran di Provinsi Jawa Timur, perhitungan upah minimum mengacu pada surat edaran Menaker No.B-M/360/HI.01.00/XI/2022 tanggal 11 November 2022 tentang penyampaian data perekonomian dan ketenagakerjaan untuk penetapan upah minimum tahun 2023 dengan formula PP Mo.36/2021 menggunakan data BPS per September 2022 dimana pertumbuhan ekonomi 5.30% dengan tingkat inflasi 6.80% memberikan hasil perhitungan yang berbeda antar kabupaten/kota.

Diperkirakan besaran kenaikan upah tahun 2023 akan lebih tinggi dibanding tahun 2022 mengingat besaran angka pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan lebih tinggi dibanding tahun 2022. Presentase kenaikan rata-rata upah minimum (UMK) tahun 2023 jauh lebih besar dibanding tahun sebelumnya. Jika sebelumnya tahun 2022 rata-rata persentase kenaikan upah minimum berkisar 0.5%-2%, maka besaran upah minimum tahun 2023 mengalami kenaikan dengan kisaran 2%-6%.

Indikasi kenaikan upah minimum setidaknya bisa dilihat dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP) Jawa Timur tahun 2023 sebesar 5.35% dibanding tahun 2022 yang naik sebesar 1.35%. Besaran kenaikan upah minimum provinsi (UMP) memberikan sinyal secara tidak langsung bahwa besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2023 akan naik dengan persentase yang lebih besar dibanding upah minimum tahun 2022.

Seperti halnya pada penentuan upah minimum tahun 2022, di perkirakan masih ada beberapa daerah kabupaten/kota di Jawa Timur yang perhitungan upah minimumnya tidak mengalami kenaikan atau sama dengan upah minimum tahun sebelumnya,misalnya kabupaten Malang, kabupaten Pacitan, kota Pasuruan yang tahun sebelumnya tidak ada kenaikan upah minimum dipastikan tahun 2023 akan tetap tidak ada kenaikan upah minimum. Tidak adanya kenaikan upah minimum di beberapa daerah ini menunjukkan pernyataan Kemenaker bahwa upah minimum tahun 2023 akan naik tidak seluruhnya benar.

Gambaran di atas sepenuhnya mengacu pada formula hitung upah minimum sesuai PP No.36/2021. Namun, konstelasi perhitungan upah minimum terebut berubah total dengan terbitnya Permenaker No. 18/2022. Permenaker yang terbit per tanggal 16 November 2022 ini secara langsung merubah formula perhitungan penyesuaian upah minimum menggunakan penjumlahan tingkat inflasi dengan pertumbuhan ekonomi dikalikan dengan indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Permenaker ini memungkinkan kenaikan upah minimum asal tidak melebihi 10 %. Sehingga kenaikan upah minimum tahun 2023 nantinya akan jauh lebih tinggi dibanding kenaikan rata-rata upah minimum pada periode tahun 2017-2020 yang mencapai 8.37%.

Perubahan aturan penghitungan formula upah minimum ini akan memunculkan pandangan yang berbeda antara kalangan pengusaha dan para pekerja. Bagi pekerja yang sejak awal menolak formula hitung upah minimum menggunakan PP No.36/2021 tetap menuntut kenaikan upah minimum berkisar antara 10%-13% dapat menjadi angin segar dengan pemberlakukan Permenaker No.18/2022.

Bagi kalangan pengusaha dengan kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih tercermin dari masih tingginya angka inflasi yang mencapai 6.80 %, maka kenaikan upah minimum 10% sebagai hal yang memberatkan. Di sisi lain, kalangan pengusaha mengganggap belum ada kepastian hukum dalam penetapan upah minimum dengan diterbitkannya Permenaker 18/2022. Artinya para pengusaha meminta untuk tetap menggunakan PP No. 36/2021 sebagai dasar penetapan upah minimum yang secara langsung menunjukan tidak boleh ada peraturan lain (Permenaker) yang bertentangan dengan formula hitung upah minimum sesuai PP No. 36/2021.

Perbedaan sudut pandang antara pekerja dan pengusaha ditengah belum membaiknya iklim ekonomi nasional ditambah tidak konsistennya pemerintah dalam hal ini Menaker akan semakin memperuncing pilihan penetapan besaran upah minimum 2023. Tuntutan pekerja agar upah minimum naik 10%-13% ditengah kenaikan inflasi sekitar 6.80% pasti akan memberatkan dunia usaha, apalagi menjelang akhir tahun 2022 ini banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor usaha. Namun, pengusaha juga harus menyadari bahwa upah minimum memang harus naik untuk mendorong kenaikan konsumsi masyarakat, setidaknya besaran kenaikan upah minimum maksimal sama dengan tingkat inflasi atau tetap menyandarkan pada formula hitung sesuai PP No. 36/2021.

Bagi pemerintah sebagai regulator seharusnya tetap konsisten sesuai aturan perundangan yang berlaku. Ada kesan, sikap pemerintah dalam penetapan upah minimum tahun 2023 cenderung tidak taat asas karena menggunakan aturan baru Permenaker No 18/2022 yang menyimpang dari aturan perundangan di atasnya. Jika pun pemerintah melakukan perubahan kebijakan penetapan upah minimum seharusnya tetap menyandarkan pada formula hitung yang berlaku pada PP No.36/2021. Dalam kasus penetan upah minimum 2023 ini kebijakan pemerimtah melalui Permenaker No.18/2022 bukan menjadi jalan tengah bahkan cenderung mempertajam sudut pandang antara pekerja dan pengusaha termasuk semakin memperlebar disparitas upah antar wilayah.

Sumber: https://www.harianbhirawa.co.id/inkonsistensi-penetapan-upah-minimum-2023/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler