Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar FISIP dan Ketua Program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
Fenomena kekerasan yang dialami perempuan masih sering terjadi. Nampak bahwa perempuan belum memperoleh tempat yang aman dan nyaman baik di lingkungan domestik (keluarga) maupun di lingkungan publik khususnya di tempat kerja.
Kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja adalah masalah serius yang melibatkan berbagai bentuk tindakan kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut dapat meliputi pelecehan seksual, intimidasi, ancaman, penolakan promosi atau peluang pengembangan karir, penggajian yang tidak adil, dan penganiayaan lainnya.
Kasus tindakan kekerasan terhadap perempuan yang muncul dan terungkap di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari data sesungguhnya yang terjadi.
Pada umumnya perempuan korban tindakan kekerasan khususnya di sektor domestik (keluarga), misalnya korban KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) enggan untuk melaporkannya karena dianggap sebagai aib keluarga.
Demikian pula di sektor publik, seringkali juga perempuan yang menjadi korban tindakan kekerasan, khususnya korban kekerasan seksual (pelecehan seksual) merasa tersudut ketika dia melaporkan kasus yang dialaminya. Kadang masyarakat menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual tersebut.
Darurat Kekerasan
Hasil survey International Labour Organization (ILO) tahun 2023 (greennetwork.id, 13/03/2023), menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam situasi darurat kekerasan di tempat kerja. Kekerasan di tempat kerja sebenarnya bukan saja hanya dialami oleh tenaga kerja perempuan akan tetapi juga oleh tenaga kerja laki-laki.
Secara keseluruhan, hasil survei ILO tersebut mengungkap bahwa dunia kerja di Indonesia sedang berada dalam keadaan darurat kekerasan dan pelecehan, dimana sebanyak 70,93% dari total 1.173 responden mengaku pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Satu hal yang konsiten dari tahun sebelumnya adalah bahwa korban kekerasan di tempat kerja tetap didominasi oleh perempuan, yakni sebesar 55,92% (656 orang).
Dilansir dari sumber berita Kompas.Com (13/04/2023), bahwa selama tahun 2022 lalu, Komisi Nasional Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat telah menerima sebanyak 4.371 pengaduan terkait kasus tindakan kekerasan yang dialami perempuan di Indonesia.
Survei tersebut mengungkap sejumlah temuan penting terkait pengalaman pekerja di Indonesia dalam kurun waktu 2020-2022, yakni: pekerja pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja (70,81%; pekerja mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dan pelecehan (69,35%); pekerja mengalami kekerasan dan pelecehan psikologis (77,40%); dan pekerja mengalami kekerasan seksual (50,48%). Selain itu juga terungkap bahwa faktor ketimpangan relasi kuasa masih sangat berperan, dimana atasan atau rekan kerja senior merupakan pelaku paling sering; Identitas gender dan difabilitas menjadi faktor kerentanan yang mendasari kekerasan dan pelecehan seksual; Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dapat terjadi di berbagai tempat, tidak hanya di kantor, tetapi juga di luar kantor dan bisa secara daring; Banyak korban mengalami gangguan kesehatan mental (stres hingga depresi), ingin mengundurkan diri, dan bahkan trauma untuk bekerja lagi; dan banyak korban memilih bungkam karena berbagai faktor, seperti minimnya mekanisme anti-kekerasan dan pelecehan yang dimiliki perusahaan/institusi, hingga takut disalahkan/dikucilkan.
Dalam perspektif World Health Organization (WHO), kekerasan diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik atau kekuasaan secara sengaja, yang mengancam atau mengenai diri sendiri, orang lain, atau kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera, kematian, gangguan psikologis, gangguan perkembangan atau kerugian.
Sedangkan dalam perspektif Johan Galtung, bentuk kekerasan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu Kekerasan Langsung yang dilakukan antara pelaku dan korban, Kekerasan Struktural yang bersumber dari struktur sosial antar orang, masyarakat, kumpulan masyarakat (aliansi, daerah), dan Kekerasan Kultural yakni bentuk kekerasan simbolis dalam agama, ideologi, bahasa, seni, pengetahuan, hukum, media, pendidikan yang fungsinya untuk melegitimasi Kekerasan Langsung dan Kekerasan Struktural. Menurut Galtung Kekerasan Kultural dan Kekerasan Struktural menyebabkan Kekerasan Langsung. Kekerasan Langsung juga menguatkan atau memperburuk Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural.
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2022, bentuk tindak pidana kekerasan seksual meliputi: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual tersebut Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: perkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak, perbuatan melanggar kesusilaarr yang bertentangan dengan kehendak Korban, pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga, dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Perlindungan Bagi Perempuan
Gerakan perlindungan terhadap perempuan menjadi isu dan perhatian global. International Labour Organization (ILO) telah mengeluarkan konvensi dan rekomendasi untuk memberantas kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di tempat kerja di seluruh dunia. Di Indonesia, secara formal gerakan perlindungan perempuan dijamin dalam bentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2022 ini merupakan salah satu bentuk kehadiran negara dalam memberikan rasa keadilan dan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
Penting untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan pendidikan kepada masyarakat dan organisasi tentang pentingnya menghentikan kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja. Langkah-langkah seperti melibatkan perusahaan, pemerintah, dan serikat pekerja dalam kampanye kesetaraan gender, mendirikan mekanisme pengaduan yang aman dan efektif, serta memberikan pelatihan kepada karyawan tentang hak-hak mereka dan tentang menghormati keberagaman dan kesetaraan gender dapat membantu mengurangi kekerasan di tempat kerja.
Melalui upaya kolektif dari masyarakat, organisasi, dan pemerintah, kita dapat menciptakan lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan serta memberikan perlindungan yang setara bagi semua individu, termasuk perempuan, di tempat kerja…(*)