Oleh:
Muhammad Kamarullah
Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang.
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah diberikan oleh pemerintah ke DPR. Awalnya, pemerintah dan DPR berencana mematok pengesahan RKUHP sebelum berakhirnya masa sidang ke V tahun persidangan 2021-2022 yang jatuh tempo pada tanggal 7 Juli 2022. Namun pada tanggal 6 Juli 2022, diwakili Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej telah menyetor draf RKUHP yang sudah disempurnakan itu.
Pasca draf RKUHP diberikan ke DPR, kini menuai perbincangan hangat. Terlepas dari glorifikasi muatan secara materil RKUHP yang konon sebagai produk hukum yang mencirikan khas ke-Timur-an. Serta RKUHP baru ini dirancang dan digali dari bumi ibu pertiwi dalam rangka menghapus jejak-jejak peninggalan kolonialisme dalam berbagai produk hukum Indonesia. Pembahasan RKUHP secara materil maupun formil, nampak tidak melibatkan masyarakat.
Sehingga agaknya tidak salah, jika menyebutkan RKUHP sebagai prodak yang dalam istilah kekinian yaitu”sat set sat set”. Istilah yang ramai di media sosial yang mengisyaratkan hal apapun dilakukan dengan “segera”, “cepat”, atau “lekas”.
Untuk menjustifikasi produk RKUHP yang “sat set sat set” ini, bisa merujuk pada survei jejak pendapat yang dilakukan Libang Kompas akhir Juni 2022. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 89, 3 persen responden tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Di samping itu, masih dalam survei Litbang Kompas, responden merasa adanya pasal yang mengganjal dan perasaan tidak dilibatkan dalam proses perancangan. Dua alasan ini menjadi alasan teratas penolakan pengesahan RKUHP.
Dari Survei Litbang Kompas ini jika disimulasikan, dari total 10 orang, hanya 1 orang yang tahu tentang RKUHP. Dengan demikian patut dicurigai dengan sangat, sebab musabab dan sebenarnya ditujukan untuk kepentingan siapa RKUHP versi baru ini? Rasanya aneh.
Nihil Partisipasi Rakyat
Proses pembahasan RKUHP yang berlangung problematis ini mengingatkan kita pada istilah dalam bahasa Latin yang sangat mendunia yaitu, Vox Populi Vox Dei atau Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam frasa ini menjadikan posisi rakyat sebagai penentu hitam di atas putih dalam kehidupan negara dan bangsa. Itu sebabnya suara rakyat bahkan disejajarkan dengan suara “Tuhan”. Ia sangat istimewah.
Jika dicermati, istilah ini menunjukkan bahwa pemerintah merupakan wakil Tuhan sebagai pelaksana negara. Dan rakyat sebagai penyampai kehendak Tuhan. Oleh karena itu agar segala tindak tanduk serta berbagai kebijakan dan keputusan dari wakil Tuhan tidak menyimpang dan mendekati nilai-nilai ketuhanan, ia harus tuduk, taat, dan patuh terhadap suara Tuhan yang akan disampaikan oleh rakyat itu sendiri.
Bahkan dalam perkembangan perubahan politik dari masa ke masa berupaya untuk melengserkan legitimasi serta kekuasaan yang otoritatif dan sewenang-wenang. Karena tidak jarang kita menyaksikan proses sebuah keputusan politik melalui perwakilan yang cenderung transaksional alias dagang sapi. Atas alasan ini pula, proses politik dan pengambilan kebijakan yang melibatkan rakyat dianggap sebagai hal yang sangat ideal.
Dalam konteks ini, sistem demokrasi sebagai pengejawantahannya. Baik dalam pemilihan umum, kehendak suara rakyat mayoritaslah yang diikuti. Dan dalam merumuskan kebijakan, DPR dan pemerintah berkewajiban untuk mendengar kehendak rakyat. Lebih dari itu, suara rakyat harus dipatuhi.
Kebijakan Elitis
RKUHP yang minim partisipasi publik serta tidak transparan ini patut dicurigai muatan isi materinya. Apalagi dengan berbagai kerumitan rakyat “biasa” dalam mengakses hukum di Indonesia. Maka, dari oleh dan untuk kepentingan siapakah RKUHP ini dibuat?
Berkaca pada sejumlah produk RUU beberapa waktu lalu yang mendapat penolakan publik. Ini semakin menaruh kecurigaan publik terhadap RKUHP. Lihat saja pada 2020 lalu ketika pemerintah dan DPR membahas dan mengetok RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Selain dari pembahasannya yang sat set sat set. Omnibus Law dinilai memfasilitasi kepentingan para oligarki belaka. Kasus lain di waktu yang bersamaan yaitu, RUU KPK yang direvisi oleh DPR yang kemudian dianggap publik sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi.
.
Sama halnya dengan RKUHP yang menuai gelombang kritik karena sejumlah pasal dinilai bermasalah. Misalnya pada pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah. Termasuk pasal 246 dan 248 tentang larangan penghasutan untuk melawan penguasa umum. Dan yang paling kontraversial adalah pasal 218 terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal-pasal ini dinilai akan semakin mempersempit ruang kebebasan berekspresi. Ironisnya lagi akan berujung pada kriminalisasi.
Telah diketahui bahwa pembahasan terkait suatu rancangan undang-undang ini tidak hanya terbatas pada terpenuhinya prosedur pembentukannya semata. Artinya, pembahasan juga harus memenuhi aspek keadilan procedural bagi warga negara yang juga menjadi pihak yang akan merasakan dampaknya secara langsung. Padahal jika merujuk pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pasal 96 ayat (4) secara jelas menjaminan partisipasi masyarakat dalam proses legislasi. Bahwa setiap draf RUU harus dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.
Absennya masyarakat ini semakin jelas menunjukkan semacam ada kasakusuk serta ketidakberesan RKUHP. Maka, wajar saja ketika RKUHP ini kemudian distempel sebagai kebijakan elit. Atas argument ini pula, jangan sampai RKUHP ditujukan untuk kepentingan para elit politik yang memiliki hak istimewah (privilege) dalam mengakses hukum.
Dengan demikian, kita tentu berharap DPR tidak gegabah untuk segera mengetok RKUHP. Kita juga menginginkan agar terbukanya ruang diskursus agar publik bisa menyampaikan aspirasi. Hal ini berkaitan dengan aspek keadilan procedural agar RKUHP nantinya tidak cacat formil sebagaimana nasib Omnibus Law. Terlebih berkaitan dengan sejumlah pasal-pasal yang menurut publik masih bermasalah sehingga layaknya dipertimbangkan oleh DPR.