Oleh :
Oman Sukmana
Guru Besar, Ketua Program Doktor Sosilogi ; dan Dosen Prodi Kesejahteraan Sosial, FISIP-UMM.
Masyarakat Indonesia bereaksi keras atas rencana penyelenggaraan pertemuan komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) se-ASEAN yang akan dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 17-21 Juli 2023. Akibat reaksi keras masyarakat Indonesia ini akhirnya panitia mengambil keputusan membatalkan pertemuan tersebut di laksanakan di Jakarta. Namun, sebenarnya bukan berarti rencana pertemuan tersebut dibatalkan, akan tetapi hanya dipindahkan tempatnya. Panitia penyelenggara secara resmi membatalkan rencana pertemuan tersebut diselenggarakan di Jakata, dan merelokai ke tempat lain di luar Indonesia. Rencana pertemuan yang diberi nama ASEAN Queer Advocacy Week (AAW) ini merupakan inisiatif dari ASEAN SOGIE Caucus (ASC), yakni sebuah organisasi yang beroperasi di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2021.
Adalah ASEAN Sogie Caucus (ASC) yang merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-Government Organizations; NGOs) yang berkantor di Filipina. ASC didirikan oleh para aktivis LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex and Queer) dari delapan negara ASEAN, yakni Myanmar, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Mereka berkumpul dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh komunitas Arus Pelangi, Indonesia for Humans, dan i-SEE pada tahun 2011. Acara pertemuan dikemas dalam bentuk Forum Masyarakat ASEAN/Konferensi Masyarakat Sipil ASEAN (ASEAN People Forum/ASEAN Civil Society Conference; APF/ACSC) tahu 2011 di Jakarta, Indonesia. Oleh karena itu, meskipun ASC berkantor di Filipina namun kiprah Indonesia sangat besar atas inisiatif berdirinya ASC.
Gerakan sosial ASC berkaitan dengan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial, perhatian terhadap isu-isu yang berkenaan dengan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seksual (SOGIESC). ASC adalah jaringan aktivis hak asasi manusia yang berjuang untuk inklusi sosial di kawasan ASEAN. ASC berkomitmen untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia semua individu tanpa memandang orientasi seksualnya di kawasan Asia Tenggara. ASC terus menyuarakan pentingnya perlindungan hak asasi manusia atas ancaman yang dihadapi bagi keberadaan hidup dan martabat orang LGBTIQ. Kebencian, serangan langsung, dan pembatasan (marginalisasi) atas pelaksanaan hak sipil dan politik mereka.
Jika kita telaah, nampak bahwa tema yang diusung dalam gerakan social ASC adalah berkenaan dengan aspek Hak Asasi Dasar Manusia (HAM). Hak asasi dasar manusia mengacu pada hak-hak mendasar yang dianggap inheren dan tak terpisahkan dari setiap individu sebagai manusia. Hak-hak ini diyakini melekat pada manusia hanya karena keberadaan mereka sebagai makhluk manusia, dan mereka memiliki nilai yang tak dapat diganggu gugat. Hak asasi dasar manusia mencakup sejumlah hak yang dianggap fundamental. Beberapa contoh hak asasi dasar manusia yang diakui secara luas, antara lain: Hak untuk hidup, Hak untuk kebebasan, Hak untuk keadilan, Hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, Hak untuk privasi, Hak untuk pendidikan, Hak untuk kesehatan, dan Hak untuk bebas dari diskriminasi.
Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang melandasi hak asasi dasar ini terdokumentasi dalam berbagai instrumen internasional, termasuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap hak asasi dasar manusia adalah tujuan utama bagi pemerintah, lembaga internasional, dan masyarakat di seluruh dunia. Dalam konteks ini, maka upaya menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil, penting untuk menghormati dan mendukung hak-hak LGBT serta mengatasi stigma dan diskriminasi yang mereka hadapi. Ini termasuk mengakui dan melindungi hak mereka untuk hidup dengan bebas dari kekerasan, diskriminasi, dan penindasan, serta mempromosikan kesetaraan hak dan perlindungan hukum yang sama bagi semua individu, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas gender mereka
Pandangan masyarakat Indonesia mengenai isu LGBT masih beragam tergantung latar belakang budaya, agama, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya, gender dan interaksi dengan individu LGBT. Tingkat penolakan, dan penerimaan terhadap LGBT sangat tergantung pada faktor faktor di atas. Mengacu hasil studi Kemenkes pada tahun 2015 lalu, diperoleh berbagai pandangan masyarakat terkait LGBT.
Dalam perspektif nilai agama, khususnyas Islam, LGBT di Indonesia merupakan hal yang tabu. Sebagian besar agamawan menghujat perilaku dan orientasi seksual kelompok LGBT ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan sudah mengeluarkan fatwa yang menolak praktek hubungan badan dan perkawinan sesama jenis. Namun demikian, terdapat juga kelompok masyarakat bersikap netral, menerima keadaan LGBT namun tidak mendukung LGBT untuk melakukan kegiatan secara terbuka. Kelompok ini beranggapan semua orang mempunyai hak yang sama untuk hidup, memenuhi hak hak sebagai manusia namun tetap mempertimbangkan konteks lokal. Sedangkan kelompok yang mendukung LGBT sebagian besar adalah para aktivis dan penggerak kesetaraan, yang mendukung implementasi hak-hak kaum LGBT tanpa batasan dalam konteks apapun, termasuk dalam perkawinan sejenis.
Dalam perspektif psikologi, kategori Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) dikategorikan sebagai bentuk perilaku penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual (abnormalitas seksual) adalah bentuk dorongan dan kepuasan seksual yang diperoleh atau ditunjukkan kepada objek seksual secara tidak lazim. Penyimpangan seksual sebagai bentuk penyalahgunaan fitrah kemanusiaan dan bertentangan dengan akal sehat. Secara umum perilaku menyimpang dapat didefinisikan sebagai segala tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang ada dan berlaku pada suatu sistem sosial.
Maka, menyoal eksistensi LGBT khususnya di Indonesia, dari perspektif kemanusiaan kita semua wajib memberikan jaminan dan perlindungan sosial atas keselamatan dan keamanan hidup mereka. Diperlukan tindakan dan upaya penyembuhan perilaku penyimpangan seksual kaum LGBT. Disamping itu perlu pula kesadaran dan mawas diri kaum LGBT agar memiliki motivasi untuk proses penyembuhan perilakunya. Gerakan sosial kaum LGBT yang menuntut pengakuan secara formal sebagai sebuah identitas jenis kelamin selain laki-laki dan perempuan, hanya akan memperparah kondisi mereka..(*)