Pengentasan Kemiskinan Ekstrem di Jawa Timur

Author : Humas | Rabu, 10 Agustus 2022 09:02 WIB | Harian Bhirawa - Harian Bhirawa

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang.

Kemiskinan masih jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan menuju Indonesia Emas 2045. Angka kemiskinan penduduk Indonesia meningkat selama pandemi Covid-19 tahun 2020-2021. BPS (2021) mencatat angka kemiskinan prapandemi pada September 2019 sebesar 24,78 juta orang (9,22%) meningkat menjadi 26,50 juta orang (9,71%) pada September 2021. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM). BPS menetapkan GK Rp440.538 (September 2019) menjadi Rp486.168 (September 2021) per kapita per bulan, terdiri GKM Rp360.007 (74,05%) dan GKNM Rp126?161 (25,95%).

Di antara jumlah penduduk miskin, terdapat penduduk yang tergolong miskin ekstrem. Kemiskinan ekstrem adalah sejenis kemiskinan yang didefinisikan oleh PBB sebagai suatu kondisi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Indikator kemiskinan ekstrem adalah penduduk yang berpendapatan di bawah US$1,91 PPP (purchasing power parity) per kapita per hari (setara Rp9.089 per hari). PPP didefinisikan sebagai jumlah unit mata uang yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa yang umum yang dapat dibeli oleh satu unit mata uang umum/referensi. Berdasarkan indikator tersebut, di Indonesia terdapat penduduk miskin ekstrem sebanyak 4 persen (10.865.279 jiwa).

Pada tanggal 8 Juni 2022 pemerintah menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 Tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem dengan menargetkan tingkat kemiskinan ekstrem mencapai nol persen pada 2024. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu dari tujuh provinsi yang dijadikan pilot project program percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Jumlah penduduk miskin Jatim tahun 2021 sebanyak 4.572.730 orang (10,59% dari jumlah penduduk), di mana 1.746.990 jiwa (38,21%) di antaranya tergolong miskin ekstrem. Sebanyak lima kabupaten di Provinsi Jawa Timur menjadi pilot project atau percontohan program nasional percepatan pengentasan kemiskinan ekstrem, yaitu Bangkalan, Sumenep, Probolinggo, Bojonegoro, dan Lamongan.

Pengentasan kemiskinan ekstrem berfokus pada tiga kegiatan kunci. Pertama, melalui program bantuan sosial dan subsidi dalam rangka mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin ekstrem, baik berupa bantuan sosial tunai (BST) maupun bantuan pangan non tunai (BPNT). Penduduk miskin ekstrem hanya berpendapatan setara Rp9.089 per hari. Ini menggarisbawahi bahwa sebanyak 1,75 juta penduduk Jawa Timur pengeluarannya tidak sampai Rp10.000 per hari. Sepuluh ribu rupiah hanya cukup untuk membeli 1 kilogram beras kualitas standar, atau 6 butir telur, bahkan tidak cukup untuk membeli 1 liter minyak goreng. Fakta ini menegaskan bahwa keluarga miskin ekstrem juga termasuk kelompok penduduk rawan pangan. Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan rumah tangga. Tanpa bantuan uang atau pangan, keluarga miskin ekstrem mudah terjerumus ke dalam kelompok rawan pangan kronis, yaitu kondisi kekurangan pangan yang terjadi secara terus-menerus, yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).

Dalam kondisi harga pangan yang cenderung meningkat, maka jumlah penduduk miskin ekstrem berpotensi meningkat. Hukum Engel menyatakan bahwa semakin rendah pendapatan rumah tangga, semakin besar proporsi pendapatan yang digunakan untuk pengeluaran konsumsi makanan. Data GK BPS menunjukkan bahwa 74,05% pengeluaran penduduk miskin digunakan untuk makanan. Bagi penduduk miskin ekstrem persentase pengeluaran untuk makanan tentu lebih besar lagi. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan harga pangan global berpotensi meningkat hingga 20 persen menuju akhir tahun 2022. Hasil kajian Faharudin (2020) menyebutkan kenaikan harga 15 persen kelompok komoditas makanan menyebabkan meningkatnya persentase penduduk miskin masing-masing sebesar 0,581 poin (beras), 0,386 poin (ikan segar), 0,124 poin (sayuran), 0,124 (buah-buahan), dan 2,095 poin (pangan lainnya). Hasil penelitian Yuliana dkk. (2019) menyebutkan kenaikan harga pangan menurunkan tingkat kesejahteraan rumah tangga sebesar 6,53% atau setara Rp227.908 per bulan.

Kedua, melalui pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat miskin ekstrem. Tim Nasional Percepatan Penanggulanan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan karakteristik penduduk miskin ektrem di Jawa Timur tidak bersekolah 27-34%, sekolah SD 25-53%, berusia produktif 43-66%, dan bekerja di sektor pertanian dan non industri. Hal ini sepadan dengan data BPS (2021) bahwa 51,33% rumah tangga miskin di Tanah Air memiliki sumber penghasilan utama di sektor pertanian. BPS (2017) mencatat penghasilan petani padi hanya Rp1,238 juta/bulan, jagung Rp1,047 juta/bulan, kacang tanah Rp1,052 juta/bulan, ubi kayu Rp869 ribu/bulan, kacang hijau Rp469 ribu/bulan, dan kedelai Rp307 ribu/bulan. Penghasilan tersebut jauh di bawah UMP Jawa Timur tahun 2022 sebesar Rp1,89 juta/bulan dan Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin sebesar Rp2.187.756/rumah tangga miskin/bulan. Mekanisasi sektor pertanian yang meluas di berbagai daerah berpotensi semakin mendesak penduduk miskin ekstrem keluar dari pekerjaan di sektor pertanian. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat miskin ekstrem perlu diarahkan pada pelatihan ketrampilan di luar sektor pertanian, seperti perbengkelan, otomotif, elektronik, pertukangan, industri pakaian, kuliner, perdagangan, ekonomi kreatif, dan sebagainya. Dengan demikian, penduduk miskin dapat memasuki sektor pekerjaan di sektor industri dan jasa yang memberikan tingkat penghasilan yang lebih layak.

Ketiga, pembangunan infrastruktur pelayanan dasar dalam rangka penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh kekurangan pendapatan dan modal (lack of income and asset), tetapi juga kurangnya akses terhadap infrastruktur (lack of access to infrastructure), baik ekonomi maupun sosial. Infrastruktur ekonomi meliputi semua prasarana umum seperti tenaga listrik, telekomunikasi, perhubungan, irigasi, air bersih dan sanitari serta pembuangan limbah, sedangkan infrastruktur sosial meliputi perumahan, kesehatan dan pendidikan. Infrastruktur yang baik merupakan mesin utama pemicu pertumbuhan ekonomi, memperlancar aktivitas perdagangan dan investasi, dan mengatasi kesenjangan pembangunan ekonomi antar daerah, serta memberi efek peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian Sari dkk. (2017) menunjukkan bahwa investasi infrastruktur memiliki pengaruh sebesar 26,7% terhadap penurunan tingkat kemiskinan dan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 1% akan menurunkan jumlah masyarakat miskin sebanyak 3 orang.

Sumber: https://www.harianbhirawa.co.id/pengentasan-kemiskinan-ekstrem-di-jawa-timur/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler