Puasa Ramadan dan Ketahanan Pangan

Author : Humas | Minggu, 09 April 2023 08:04 WIB | Harian Bhirawa - Harian Bhirawa

Oleh :
Prof Dr Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Ibadah puasa Ramadhan yang dilaksanakan umat Islam dengan menahan makan dan minum sejak Subuh sampai Magrib selama sebulan berimplikasi terhadap upaya bangsa Indonesia memperbaiki perkenomomian pasca pandemi Covid-19 tahun 2020-2022, khususnya dalam meningkatkan ketahanan pangan dan mencegah krisis pangan. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 273,52 juta jiwa, ketahanan pangan menjadi perhatian serius bangsa Indonesia. Menurut Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2, lebih rendah dibanding Vietnam (67,9), Malaysia (69,9), dan Singapura (73,1). Ketahanan pangan yang rendah merupakaan gejala awal terjadinya kerawanan pangan dan krisis pangan, yang jika tidak segera diatasi, dapat menciptakan ketidakstabilan sosial, ekonomi, politik, bahkan dapat membahayakan stabilitas nasional.

Pertama, puasa Ramadhan adalah bentuk pelatihan mengurangi frekuensi konsumsi pangan, dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari. Dengan demikian, berpuasa Ramadhan berpotensi mengurangi permintaan bahan pangan, khususnya beras. Bangsa Indonesia termasuk hiper-konsumsi beras. Konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 114,6 kg/orang/tahun (BRIN, 2022), jauh di atas rata-rata konsumsi beras dunia sebesar 60 kg, dan negara tetangga Malaysia 80 kg, Thailand 70 kg, serta Jepang 58 kg/orang/tahun. Jika dibagi harian, orang Indonesia mengonsumsi beras 314 g/orang/hari atau 105 g sekali makan, lebih tinggi daripada standar PPH 289 g/orang/hari.

Allah swt melarang seseorang makan minum berlebihan (QS Al A’raf: 37). Dalam hal cara makan, Nabi Muhammad saw menganjurkan umat Islam untuk tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Nabi juga mengajarkan agar seseorang mengisi perutnya dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas. Imam Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah. Jika konsumsi beras dapat dikurangi, maka kegaduhan tentang kenaikan harga beras dan impor beras yang berulang setiap tahun dapat diredam. Meski sudah menyatakan swasembada beras, Indonesia masih mengimpor beras sekitar 500 ribu ton setiap tahun.

Kedua, puasa Ramadhan adalah bentuk pelatihan mengatur jenis makanan, yaitu makanan yang halalan thoyyiban saja. Orang berpuasa itu berlatih menahan konsumsi makan di siang hari, meskipun makan itu halalan thoyyiban. Kalau seseorang mampu menahan makanan yang halalan thoyyiban, tentu akan lebih mudah menahan makanan yang makruh dan haram. Jika kebiasaan ini diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat mengurangi fenomena mis-konsumsi gizi, terutama nikotin. BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 73.442 (12,17%), mengalahkan pengeluaran untuk pangan seperti beras Rp 66.789 (11,07%), ikan Rp 46.570 (7,72%), telur dan susu Rp 34.860 (5,78%), dan daging Rp 26.441 (4,38%). Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia lebih menyukai konsumsi racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak keluarga dan bangsanya.

Larangan merokok di Indonesia diatur dalam UU, fatwa MUI dan ormas Islam. Pasal 115 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan mengatur Kawasan Tanpa Rokok antara lain: fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Sanksi denda terhadap pelanggaran itu diatur pada Pasal 199, “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar Kawasan Tanpa Rokok dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. MUI sejak 2009 mengharamkan rokok di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil, di luar itu merokok adalah makruh. PP Muhammadiyah mengharamkan rokok sejak tahun 2010 dan rokok elektrik (vape) sejak 2020. PBNU menetapkan hukum makruh untuk rokok. Hukum dan larangan merokok tersebut sesuai perintah Allah swt kepada manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik (QS Al Baqarah: 168), bukan yang makruh apalagi haram.

Produksi rokok Indonesia mencapai 297,53 miliar batang (2021). Jika dihitung dengan harga Rp1.500 per batang, maka nilai produksi rokok mencapai Rp446,295 triliun. Ini berarti uang yang dibakar perokok Indonesia mencapai Rp1,22 triliun per hari. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk membeli telur seharga Rp25 ribu per kg sebanyak 48,8 juta kg atau susu sapi seharga Rp10 ribu per liter sebanyak 122 juta liter. Selanjutnya, pangan bergizi sebanyak ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi masalah bangsa yaitu stunting (balita pendek). Jumlah prevalensi stunting di Indonesia tahun 2021 sebanyak 5,33 juta balita (24,4 persen).

Ketiga, puasa Ramadhan adalah bentuk pelatihan menghemat makanan. Jika kebiasaan ini diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, maka dapat mengurangi fenomena banyaknya sampah makanan. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil sampah makanan (Food Loss and Waste, FLW) terbesar di dunia. Kajian Kementerian PPN/Bappenas (2021) menyebutkan bahwa sampah makanan yang terbuang di Indonesia pada 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184/kg/kapita/tahun. Ini berarti 36%-58% dari jumlah pangan yang dikonsumsi terbuang ke tempat sampah. Jika sekali makan sisakan sebutir nasi, masyarakat Indonesia membuang 5,4 ton beras per hari (setara Rp 54 juta rupiah). Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sampah makanan sebesar Rp213-551 triliun/tahun, setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun. Secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang per tahun atau 29-47% populasi Indonesia.

Perilaku membuang makanan ini tidak sesuai perintah Allah swt untuk tidak berperilaku boros (tabdzir) karena orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan (QS Al Isra’ 26-27). Dalam Islam orang-orang yang disebut pemboros (mubadzirin) adalah orang-orang yang membelanjakan hartanya berlebihan dan bukan pada kebaikan. Pada situasi pasca pandemi Covid-19, di mana masyarakat miskin kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, kelebihan makanan seyogyanya dibagikan kepada mereka yang kekurangan pangan. BPS mencatat jumlah penduduk miskin tahun 2021 sebanyak 26,5 juta (9,71%) dari jumlah penduduk Indonesia. Global Hunger Index (GHI) pada 2021 menempatkan Indonesia pada urutan ketiga tertinggi di Asia Tenggara dan urutan ke-73 dari 116 negara di dunia dalam indeks tingkat kelaparan. Al-Quran menegaskan bahwa orang yang tidak mau memberi makan orang miskin adalah pendusta agama (QS Al Ma’un: 1-3).

 

Sumber: harianbhirawa.co.id/puasa-ramadan-dan-ketahanan-pangan/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler