Rokok dan Kesehatan Bangsa

Author : Humas | Rabu, 19 Oktober 2022 08:35 WIB | Harian Bhirawa - Harian Bhirawa

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Bagi sebagian penduduk Indonesia, rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan makanan pokok. BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 73.442 (12,17%), mengalahkan pengeluaran untuk pangan seperti beras Rp 66.789 (11,07%), ikan Rp 46.570 (7,72%), telur dan susu Rp 34.860 (5,78%), dan daging Rp 26.441 (4,38%). Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Juli 2021 menyebutkan pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin bahkan mencapai Rp 364.000 per bulan. Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik. Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia lebih mengutamakan konsumsi racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak keluarga dan bangsanya.

Dari sisi ekonomi, rokok dianggap “menyehatkan ekonomi” karena memberi sumbangan besar pada kas negara. Di Indonesia terdapat 374 pabrik rokok yang menyediakan lapangan pekerjaan dari hulu sampai hilir untuk sekitar 6,1 juta orang, termasuk di antaranya 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat produksi rokok mencapai 297,53 miliar batang (2021), menurun dari 363,56 miliar batang (2019) dan 330,59 miliar batang (2020). Jika dihitung dengan harga Rp 1.500 per batang, maka nilai produksi rokok tahun 2021 mencapai Rp 446,295 triliun. Ini berarti uang yang dibakar perokok Indonesia mencapai Rp 1,22 triliun per hari. Produksi rokok tersebut menyumbang penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp 188,81 triliun (setara 6,87% dari APBN 2021), naik dari Rp 170,24 triliun (2020). Namun, industri rokok memiliki dampak negatif yang tidak murah. Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2022, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp 10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Sementara alokasi penerimaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan membiayai penyakit peserta terkait rokok hanya Rp 7,4 triliun.

Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah dibuktikan oleh lebih dari 70 artikel ilmiah. Balagh (2007) menyatakan dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 macam bahan kimia, 200 di antaranya beracun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Beberapa zat yang sangat berbahaya antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO). Di Indonesia, kebiasaan merokok merupakan salah satu risiko kedua terbesar penyebab kematian (17,3%) setelah hipertensi (28%), disusul diet tidak sehat (16,4%), diabetes (15,2%), obesitas (10,9%), dan kurang aktivitas fisik (1,4%). WHO (2020) mencatat sekitar 225.700 orang Indonesia setiap tahun (618 orang setiap hari) meninggal akibat merokok atau penyakit lain berkaitan dengan tembakau. WHO juga melaporkan penggunaan tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun (15 orang per menit) di dunia, terdiri 7 juta pengguna aktif tembakau dan 1,2 juta orang perokok pasif. Jika kesadaran tentang bahaya merokok tidak tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10 juta perokok akan meregang nyawa. Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menyatakan merokok dikaitkan dengan 1,7 juta kematian akibat penyakit jantung iskemik, 1,6 juta kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik, 1,3 juta kematian akibat kanker trakea, bronkus dan paru-paru, serta hampir 1 juta kematian akibat stroke. Perokok memiliki harapan hidup rata-rata 10 tahun lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok.

Dari sisi peraturan dan perundangan, larangan merokok di Indonesia diatur dalam UU, fatwa MUI dan ormas Islam. Pasal 115 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan mengatur Kawasan Tanpa Rokok antara lain: fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Sanksi denda terhadap pelanggaran itu diatur pada Pasal 199, “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar Kawasan Tanpa Rokok dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Sayangnya, meski pelanggaran masif di mana saja, tidak seorang perokok pun ditangkap dan didenda. MUI sejak 2009 mengharamkan rokok di tempat umum, bagi anak-anak dan wanita hamil, di luar itu merokok adalah makruh. PP Muhammadiyah mengharamkan rokok sejak tahun 2010 dan rokok elektrik (vape) sejak 2020. PBNU menetapkan hukum makruh untuk rokok dan tidak akan mengharamkan rokok sampai hari kiamat. Di Indonesia, denda yang besar dan fatwa haram atau makruh rokok hanya dipandang oleh perokok laksana “singa ompong”, kelihatan galak tetapi tidak bisa menggigit.

Seperti di Indonesia, merokok dibatasi atau dilarang di negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Bedanya, larangan merokok di Indonesia jelas undang-undangnya, jelas sanksinya, tetapi tidak tegas penegakan hukumnya, sedangkan di Malaysia dan Singapura jelas sanksi dan penegakan hukumnya. Di tempat-tempat yang dilarang merokok di Malaysia terdapat papan peringatan, “No Smoking, Fine RM 10,000 or Imprisonment 2 Years” (Dilarang Merokok, Denda RM 10,000/sekitar Rp32 juta, atau Penjara 2 Tahun). Pada 13 Juli 2022 lalu Pemerintah Malaysia bahkan berani mengesahkan UU Pengendalian Tembakau dan Merokok yang melarang rokok dan vape untuk orang yang lahir setelah tahun 2005. Beberapa masjid di Malaysia juga memasang papan peringatan bahwa masjid adalah kawasan tanpa rokok dilengkapi UU dan fatwa ulama sebagai dasarnya. Sanksi yang jelas dan tindakan tegas bagi pelanggar menjadikan warga negara Malaysia patuh terhadap larangan merokok.

Di Singapura, larangan merokok diberlakukan di hampir semua lokasi, baik indoor ataupun outdoor. Jika seseorang tertangkap merokok di tempat yang dilarang, maka dikenakan denda sebesar S$200 (Rp2,12 juta). Jika sanksi dijatuhkan oleh pengadilan, dendanya bisa membengkak hingga S$1.000 (Rp10,6 juta). Sejak 1 Februari 2018, Pemerintah Singapura juga melarang warga dan pelancong memiliki, membeli, dan menggunakan vaporizes, termasuk e-cigarettes, e-pipes dan e-cigars. Orang yang dinyatakan bersalah atas pelanggaran ini dapat didenda hingga S$2.000 (Rp21,2 juta). Selain itu, sejak 1 Agustus 2016 mengimpor vaporiser adalah ilegal. Mereka yang bersalah atas pelanggaran tersebut dapat dikenakan denda hingga S$10.000 (Rp106 juta) dan/atau penjara 6 bulan. Pelanggar berulang akan dikenakan denda hingga S$20.000 (Rp212 juta) dan/atau penjara 12 bulan. Sanksi yang jelas dan tindakan sangat tegas bagi pelanggar menjadikan warga negara dan pelancong di Singapura sangat patuh terhadap larangan merokok.

Sumber: https://www.harianbhirawa.co.id/rokok-dan-kesehatan-bangsa/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler