Novi Puji Lestari
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Malang
Belakangan ini, masifnya perdagangan melalui social commerce tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, agresifitas berbagai platform social commerce yang terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia berisiko menekan penjualan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di e-commerce. Dan, jika tidak diatur dalam regulasi yang jelas akan berisiko mematikan bisnis UMKM. Berangkat dari kenyataan itulah, melalui kolom opini di harian ini penulis ingin mencoba berbagi kontribusi gagasan sekaligus solusi agar para pelaku bisnis UMKM bisa terprokteksi dari ancaman pasar e-commerce yang condong tidak adil.
Lindungi UMKM dari Project S TikTok
Saat ini penjualan melalui platform social commerce melalui fitur-fitur baru tengah menunjukkan agresifitas yang cukup tinggi, bahkan terus memperbesar pangsa pasarnya di Indonesia. Salah satu yang kini sedang jadi pusat perhatian adalah project S yang dirilis oleh Tiktok. Terlebih, menurut laporan Momentum Works, pada tahun 2022 konsumen Indonesia menghabiskan US$52 milliar atau sekitar Rp 777 triliun untuk berbelanja online. Jumlah itu lebih dari setengah belanja online di seluruh Asia Tenggara yang mencapai US$ 99,5 miliar atau Rp 1,487 triliun.
Itu artinya, negeri ini memiliki pontensi menjadi pangsa pasar yang empuk di pasar e-commerce yang tepatnya melalui platform social commerce. Berangkat dari kenyataan itulah, maka penting untuk dihadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-Commerce. Salah satunya, dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020. Dengan revisi tersebut, minimal harga produk impor bisa dipastikan tidak akan memukul harga milik UMKM.
Melalui Permendag 50 itu iperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum diterbitkan aturan yang lebih detail. Dengan begitu, industri dalam negeri, termasuk e-Commerce lokal, UMKM, dan konsumen dapat berpotensi terlindungi atau terproteksi dari gempuran pasar e-commerce termasuk project S yang dirilis oleh Tiktok.
Selain itu, dengan revisi ini harga produk impor dipastikan tak akan memukul harga milik UMKM. Permendag 50 tersebut. diperlukan sebagai langkah awal untuk mengatur model bisnis social commerce, sebelum diterbitkan aturan yang lebih detail. Sehingga, dengan begitu predatory pricing yang diduga banyak dilakukan oleh platform e-Commerce asing yang juga melakukan praktik cross border bisa ditekan.
Mengingat pula, pengawasan terhadap produk yang ditawarkan melalui social commerce tidak dilakukan dengan ketat. Jadi, kalau dibiarkan platform seperti Tiktok Shop ini dikhawatirkan akan menjadi tempat transaksi barang-barang ilegal maupun barang-barang bermasalah karena tidak diregulasi secara ketat layaknya e-commerce. Untuk itu, sudah semestinya pemerintah perlu segera merilis aturan dalam bentuk Permendag maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai social commerce
Berangkat dari kenyataan itulah social commerce semestinya tetap didefinisikan sebagai pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-commerce yang telah diatur oleh Permendag. Oleh karena itu, aturan-aturan teknisnya menjadi jelas, termasuk mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari beberapa produk yang sudah diatur seperti kebutuhan pokok. Untuk itu, Tiktok Shop juga harus patuh pada aturan perpajakan di Indonesia, sehingga ada level playing field yang sama dengan platform e-commerce. Dengan begitu, persaingan akan menjadi lebih sehat.
Solusi Lindungi UMKM dari Social Commerce
Selama ini pelaku usaha kecil dalam negeri sudah sangat menderita akibat adanya transaksi cross border yang dilakukan sejumlah platform e-commerce dan social commerce asing. Menjadi logis, jika pemerintah pun perlu sigap mengambil langkah alternatif untuk mengatur platform social commerce dengan tegas. Sebab, platform seperti Tiktok Shop saat ini menjadi social commerce yang liar karena berada di ruang kosong regulasi.
Fitur baru Platform Social Commerce Tik Tok atau dikenal juga dengan Project S Tik Tok berpotensi mengancam produk UMKM Lokal di pasar digital dalam negeri. Karena fitur baru Tik Tok tersebut hanya memprioritaskan produk UMKM China maka UMKM Indonesia terpinggirkan. Yang lebih mengkhawatirkan akal muslihat Tik Tok dalam mendominasi pasar Indonesia melalui fitur social commerce tersebut. Modusnya, Tik Tok akan membuat trend produk baik fashion, aksesoris dan beragam produk lainnya.
Dengan begitu, Tik Tok akan mempopulerkan atau memviralkan trend produk yang mereka setting, lalu diproduksi oleh UMKM China dan dijual lewat platform social commerce Tik Tok. Fakta itu, jelas mengancam UMKM kita. Berangkat dari kenyataan itulah, langkah konkret sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan terhadap pelaku UMKM terhadap gempuran produk asing. Untuk itu, berikut inilah beberapa langkah sekaligus solusi agar para pelaku UMKM terlindungi atau terproteksi dari gempuran pasar e-commerce termasuk project S yang dirilis oleh Tiktok.
Pertama, pemerintah saat ini meski perlu sigap dan segera membuat aturan yang bisa melindungi UMKM Indonesia. Entah dalam peraturan terpisah maupun revisi dari peraturan sebelumnya , yakni merevisi Permendag nomor 50 Tahun 2020 agar lebih melindungi UMKM Indonesia. Sehingga, jangan sampai social commerce ini dianakemaskan di tengah kekosongan regulasi.
Kedua, pemerintah perlu terus melakukan upaya pengetatan, terutama pengaturan dan pengawasan dari pemerintah terkait jual beli menggunakan platform media sosial atau social commerce. Dengan begitu, social commerce semestinya bisa mengatur pelaku perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) atau sebagai e-Commerce yang telah diatur oleh Permendag.
Ketiga, pemerintah mesti turun tangan menyelesaikan aturan terkait shadowban TikTok yang dianggap tidak transparan. Pasalnya, fitur baru TikTok berpotensi mengancam produk UMKM lokal di pasar digital dalam negeri. Karena fitur baru TikTok tersebut hanya memprioritaskan produk UMKM China, maka UMKM Indonesia terpinggirkan.
Merujuk dari ketiga langkah sekaligus solusi agar para pelaku UMKM terlindungi atau terproteksi dari gempuran pasar e-commerce termasuk project S yang dirilis oleh Tiktok tersebut di atas, besar kemungkinan jika diwujudkan dengan maksimal maka pelaku UMKM dalam negeri berpotensi terlindungi dari serbuan produk impor.