Kebijakan Penghentian Ekspor Minyak Sawit dan Implikasinya ke Asia Tenggara

Author : Humas | Jum'at, 27 Mei 2022 09:27 WIB | Jawa Pos - Jawa Pos

SEBAGAI negara pengekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO), manuver serta kebijakan politik yang diberlakukan Indonesia akan memberikan dampak bagi negara lain. Baik secara global, regional, atau sebatas bilateral.

Karenanya, keputusan serta kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah berangkat dari berbagai pertimbangan, dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat juga kepentingan nasional negara Indonesia.

Keputusan Presiden Jokowi mengenai penghentian ekspor minyak sawit Indonesia tentunya mengundang intrik tersendiri dan sangat menarik untuk diulas lebih lanjut. Lantas, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apa dampak yang akan dihasilkan dari kebijakan ini? Bagaimana kebijakan ini sudah berjalan sejauh ini? Hal-hal tersebut akan berusaha penulis kaji dan paparkan di dalam tulisan ini.

Seluruh rentetan kejadian di dalam tulisan ini dimulai per tanggal 28 April 2022. Saat itu, Presiden Jokowi memutuskan untuk memberlakukan penghentian ekspor CPO dan produk minyak sawit (semisal minyak goreng).

Langkah ini diambil Presiden Jokowi sebagai sebuah reaksi terhadap meningkatnya harga minyak goreng di pasar domestik, serta semakin langkanya minyak goreng di berbagai daerah di Indonesia. Keputusan itu diharapkan dapat membawa kembali harga pasaran minyak goreng untuk menyentuh angka Rp 14.000 seperti sebelumnya dan diharapkan dapat stabil di sekitar angka tersebut.

Keputusan yang cukup berani oleh Presiden Jokowi, mengingat sebenarnya Indonesia bisa saja tetap melakukan ekspor CPO ke berbagai daerah di dunia meskipun terdapat krisis minyak goreng di dalam negeri. Walaupun, yang harus ditangguhkan adalah kepercayaan publik terhadap presiden.

Penulis rasa, Presiden Jokowi tidak menginginkan hal tersebut dan lebih memilih untuk mengutamakan kepetingan rakyat Indonesia di atas keuntungan yang bisa diambil dari global. Pertanyaan yang menarik kemudian adalah, apakah keputusan Jokowi memberikan dampak terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara?

Jawabannya adalah iya. Yang paling cepat mendapat dampak dari keputusan Presiden Jokowi adalah salah satu negara tetangga dekat Indonesia yaitu Malaysia. Sebagai negara dengan tingkat ekspor CPO tertinggi nomor dua di dunia, sudah sewajarnya Malaysia berusaha untuk naik ke posisi puncak menyaingi Indonesia yang dalam hal ini penulis anggap dalam posisi “vakum” untuk sementara waktu.

Bahkan, Malaysia disebut-sebut meminta harga yang sangat tinggi (hampir menyentuh rekor harga tertinggi yang mereka pernah bandrol) untuk pengiriman CPO dalam jangka waktu cepat. Bukan tidak mungkin, bila keputusan Presiden Jokowi ini diimplementasikan dalam kurun waktu yang lama, Malaysia berpotensi untuk mengambil pasar utama yang dimiliki oleh Indonesia sebelumnya.

Terlebih, jika Malaysia memutuskan untuk menambah kemampuan mereka dalam memproduksi CPO, bukan tidak mungkin bila Malaysia nantinya menjadi negara nomor satu dalam hal melakukan ekspor CPO. Hal ini tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan Indonesia di tingkat bisnis internasional.

Selain Malaysia, apakah akan ada negara lain dalam kawasan Asia Tenggara yang akan mendapat dampak dari keputusan Presiden Jokowi ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui importir terbesar dari produk CPO yang dibuat Indonesia. Dari data yang dirangkum melalui the Observatory of Economic Complexity (OEC), sebuah media yang melakukan pendataan kuantitatif terkait dengan bisnis dan perdagangan internasional, diketahui bahwa terdapat beberapa negara di Asia Tenggara yang masuk ke dalam 10 besar pengimpor CPO buatan Indonesia secara global.

Negara-negara tersebut antara lain: Malaysia di posisi keempat dengan tingkat impor sebesar 4.08%, Myanmar di posisi keenam dengan tingkat impor sebesar 3.32%, Vietnam menduduki posisi ketujuh dengan tingkat persentase 2.24%, Filipina pada posisi kedelapan dengan persentase impor sebesar 1.66%, dan ditutup Singapura pada posisi kesembilan dengan tingkat impor pada angka 1.28%.

Data-data tersebut tentunya sudah cukup menjadi bukti bahwa Indonesia memainkan peranan penting di bidang produksi CPO di kawasan Asia Tenggara. Angka-angka tersebut tentunya hanya bersifat sementara.

Berbagai kepentingan, keadaan, serta variabel-variabel lain yang terjadi di masa depan, dapat memengaruhi angka impor yang dilakukan oleh negara-negara tersebut. Sejauh ini, angka-angka tersebut masih relatif aman dan kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi pun belum sampai memengaruhi keamanan pangan (food security) yang dimiliki oleh masing-masing negara ataupun kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.

Namun, penulis melihat kemungkinan besar bahwa bila keputusan ini diberlakukan dalam jangka waktu menahun, terdapat kemungkinan besar Asia Tenggara mengalami dampak yang signifikan pada keamanan pangan domestik serta harga CPO di pasar lokal masing-masing negara. Bukan tidak mungkin, harga minyak goreng di masing-masing negara juga akan mendapatkan dampak yang kurang baik.

Dampak tersebut sangat mungkin terjadi, walaupun Malaysia bisa dikatakan masih dalam posisi yang stabil dalam melakukan produksi CPO. Namun, berkaca pada keadaan saat ini, Malaysia bahkan keteteran dalam memberikan suplai terhadap negara-negara yang menjadi pelanggan serta mitra baru dalam bidang perdagangan CPO. Dalam skala yang lebih besar dan jangka waktu yang lebih lama, tumbangnya harga minyak kelapa sawit internasional bukanlah sebuah hal yang mustahil bila Indonesia tetap melarang ekspor CPO. (*).

Oleh : Chikmatul Azimah

Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional

Universitas Muhammadiyah Malang.

Sumber: https://radarjombang.jawapos.com/opini/27/05/2022/kebijakan-penghentian-ekspor-minyak-sawit-dan-implikasinya-ke-asia-tenggara/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler