Tiga Mahasiswa UMM Raih Penghargaan Film dari Amerika Serikat

Author : Humas | Selasa, 29 Agustus 2023 17:00 WIB | Jawa Pos - Jawa Pos

Dari kiri, Ammar Nashshar Yusuf, Chu Livia Christine Wijaya, dan Kiki Rahma Ardiansyah menunjukkan piagam penghargaan Student World Impact Film Festival (SWIFF) (KIKI RAHMA ARDIANSYAH FOR RADAR MALANG)

Dari kiri, Ammar Nashshar Yusuf, Chu Livia Christine Wijaya, dan Kiki Rahma Ardiansyah menunjukkan piagam penghargaan Student World Impact Film Festival (SWIFF) (KIKI RAHMA ARDIANSYAH FOR RADAR MALANG)

Angkat Kisah Pernikahan Dini dan Kematian yang Menunggu Waktu

Film berjudul Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku garapan tiga mahasiswa UMM berhasil menyabet penghargaan Honorable Mention dalam ajang SWIFF 2023 di Amerika Serikat. Prestasi yang patut diapresiasi, mengingat festival itu diikuti film-film dari 120 negara.

FAJAR ANDRE SETIAWAN

SALAH satu adegan dalam film itu menunjukkan raut wajah Sukma yang suram. Mewakili betapa berat beban hidup yang ia pikul. Berulang-ulang remaja perempuan itu mengucap kalimat yang mengiris perasaan. ”Kematianku hanya menunggu waktu,” ucapnya setengah berbisik.

Keresahan berkepanjangan itu muncul lantaran Sukma dipaksa menikah pada usia yang masih sangat belia, 14 tahun. Dia sebenarnya terus menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tapi, sekeras apa pun dia menolak, tradisi dan keputusan orang tua yang akhirnya jadi ”pemenang”.

Remaja yang baru lulus SMP itu pun harus mengubur impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Selain terkendala biaya, lingkungan di sekitar dia hidup kental dengan stereotipe bahwa perempuan tak perlu berpendidikan tinggi. Tugasnya hanyalah mengurusi dapur.

Masyarakat juga masih menganggap anak perempuan sebagai beban keluarga. Untuk melepaskan beban itu, satu-satunya cara adalah menikahkan anak perempuan di usia yang masih sangat belia. Kalau bisa dengan lelaki yang sudah sangat mapan.

Pernikahan antara Sukma dengan pria yang tak dikenalnya pun berlangsung. Semua terjadi dengan penuh kepasrahan. Air mata yang ingin tumpah seolah langsung mengering. Akhirnya, Sukma memutuskan untuk menyantap tanaman beracun setelah pernikahan berlangsung.

Sukma berpikir, dengan cara itulah dia bisa memiliki dirinya sendiri secara utuh. Tanaman beracun itu mulai bereaksi ketika dia akan melakukan hubungan malam pertama dengan suami asingnya. Sukma pun mengembuskan napas terakhir dalam keadaan masih suci.

Sebuah kisah klasik, tapi dipaparkan kembali dengan apik oleh tiga mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melalui sebuah film. Di luar dugaan, film pendek berjudul Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu itu meraih penghargaan film internasional. Pihak kampus pun memberi apresiasi dengan membebaskan mereka dari kewajiban membuat skripsi.

Ketiga mahasiswa itu adalah Kiki Rahma Ardiansyah sebagai sutradara, Muhammad Ammar Nashshar Yusuf sebagai director of photography, dan Chu Livia Christine Wijaya sebagai produser. Film berdurasi 24 menit 10 detik itu meraih penghargaan Honorable Mention dalam ajang Student World Impact Film Festival (SWIFF) 2023 di Amerika Serikat.

Kiki tak pernah menyangka film garapannya mampu menembus festival internasional. Apalagi karyanya itu harus bersaing dengan film lain dari 120 negara. Bahkan, film tersebut juga masuk seleksi di Lift-Off Filmmaker Sessions by Lift-Off Global Network 2023.

Film yang diproduksi dengan latar budaya Jawa itu pun diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Dari judul Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu menjadi Not Dead, I Remain Mine Always.

Kiki menjelaskan, ide untuk mengangkat tema pernikahan dini itu bermula saat dirinya berkunjung ke daerah Trenggalek Selatan. Di sana banyak kasus pernikahan dini akibat perjodohan orang tua. Padahal pernikahan dini banyak membawa dampak negatif. Terutama dalam hal psikis. Belum matangnya seorang anak yang dipaksa untuk menikah bisa berakibat pada banyak trauma.

Ide itu diperkuat dengan sebuah cerpen berjudul Sukma Merenta karya Gracia Asriningsih. ”Isi cerpen itu kurang lebih sama dengan ide yang mau kami angkat,” ucapnya.

Produksi film tersebut menghabiskan waktu selama enam bulan. Mulai pra-produksi hingga pasca-produksi. Proses pengambilan gambar video hanya dilakukan selama empat hari. Lokasinya di empat tempat. Yakni Kota Malang, Kota Batu, Pujon Kidul, dan pantai Malang Selatan.

”Kalau persiapan dari mulai penulisan naskah sampai final draft, reading, dan pencarian talent pada pra-produksi membutuhkan waktu sebulan. Yang lama itu pasca-produksi. Sekitar 4-5 bulan lamanya,” ucapnya.

Tak ada kendala berarti pada saat proses produksi film. Kiki hanya sempat kesulitan mengatur ulang waktu shooting akibat salah satu tempat yang tiba-tiba membatalkan untuk dijadikan latar. Namun, dia akhirnya berhasil merampungkan filmnya itu.

Setelah semua proses selesai, Kiki langsung mendaftarkan film itu ke beberapa festival. Baik di dalam negeri maupun luar negeri. Yang berhasil nyantol adalah di Student World Impact Film Festival (SWIFF) 2023. “Karena ajang itu digelar secara daring, kami mendapatkan pemberitahuan melalui email,” ucapnya.

Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu sebenarnya bukan film pertama yang pernah digarap Kiki dan timnya. Dia sudah beberapa kali memproduksi film melalui tim Meraki Visual. Tak sedikit pula yang berhasil mendapat penghargaan.  Di antaranya, film Bumi yang meraih Best Director, Actor, dan Views dalam ajang Indodax Short Film Festival.

Ada juga film Persembahan Untuk Jiwa yang meraih juara tiga dalam lomba Movie Production Club (MPC) Film Festival 2021. Selanjutnya, film berjudul Rekah meraih juara satu dalam lomba Yamaha Film Festival 2021. Terakhir, film Samparan berhasil masuk 15 besar Indodax Short Film Festival 2022. (*/fat)

Sumber: https://radarmalang.jawapos.com/sosok/812886259/tiga-mahasiswa-umm-raih-penghargaan-film-dari-amerika-serikat
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler