Oleh: Hasnan Bachtiar
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Kandidat PhD di Deakin University, Australia
KLIKMU.CO
Saya tidak heran dengan gegap gempita perayaan pembukaan Hagia Sophia sebagai masjid di Turki. Memang tampak menggembirakan. Bahkan, hal itu mampu meningkatkan kebanggaan kaum Muslim di seluruh dunia mengenai peradaban Islam yang pernah berdiri lama di sana (Turki Utsmani).
Namun, kebanggaan terhadap agama dan peradaban berbasis agama, sepertinya, tidak ada hubungannya dengan Palestina yang sedang dihinggapi nestapa. Memang sejak kalah perang tahun 1940-an dan kemudian kalah telak pada 1960-an oleh Israel, Palestina sudah sangat menyedihkan.
Kesedihan ini semakin bertambah, karena sejak beberapa tahun yang lalu, kota suci Jerusalem diduduki sebagai ibu kota Israel. Saat ini, wilayah Palestina di Tepi Barat (berbatasan dengan Yordania) dan Bukit Golan (dengan Suriah), sedikit demi sedikit, dirampas oleh Israel dan dijadikan sebagai hunian rakyatnya.
Ketika Donald Trump, mantan Presiden Amerika, menyarankan “the deal of the century” untuk memastikan perdamaian kedua belah pihak yang bertikai, ternyata justru tidak adil dan sangat merugikan Palestina. Dengan proposal perdamaian yang berat sebelah ini, Palestina hanya akan mendapatkan sepersepuluh dari keseluruhan tanah Palestina raya.
Tentu saja, Israel senang dengan “deal” ini dan giat mencaplok tanah rakyat Palestina. Bahkan, demi menyukseskan programnya itu, Benjamin Netanyahu memerintahkan Israeli Defense Force (IDF) untuk mengelilingi wilayah Gaza, benteng pasukan Hamas dengan berbagai armada dan senjata militer yang siap ditembakkan. Jadilah Gaza saat ini sebagai “kamp konsentrasi yang panjang dan besar” jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang terjadi di zaman Nazi.
Mungkinkan kaum Muslim di dunia bersatu? Secara realistis, tidak. Bagaimana dengan negara-negara Muslim di kawasan Timur Tengah? Mereka masing-masing memiliki kepentingan domestik dan regional. Sehingga, agaknya sulit mengharapkan solidaritas antar negara di sana.
Arab Saudi seperti menjadi musuh abadi Iran. Sementara itu, negara-negara “monarki” di Teluk Arab-Persia, tampaknya, tidak pernah berjalan beriringan dengan negara yang pro-Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks ini, Qatar diasingkan oleh Organisasi Kerjasama Negara-Negara Teluk (Gulf Cooperation Council).
Terhadap Palestina, Saudi yang pro-Amerika cenderung memihak Israel ketimbang negara saudara seagamanya. Sementara Mesir dan Yordania sendiri, dukungannya hanya akan berlaku jika mereka memiliki kepentingan domestik yang rasional. Sedangkan Suriah, Yaman, Irak, dan Libya, mereka masih berjibaku dengan perang sipil yang terjadi di dalam negeri. Mereka juga disebut sebagai negara-negara proxy, yang berfungsi sebagai arena kontestasi global.
Mungkin pengecualian berlaku untuk Kuwait dan Oman. Kendati di GCC mereka tetap taat di bawah koordinasi Saudi, namun kebijakan luar negeri mereka dianggap netral dan pro-perdamaian. Selebihnya, Uni Emirat Arab dan Bahrain jelas pro-Saudi dan cenderung enggan mencampuri urusan Israel-Palestina.
Di Afrika Utara, seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair, termasuk juga Sudan, memiliki sikap tertentu terhadap Palestina. Namun, terkadang, karena posisi mereka yang agak jauh dari pusat konflik, pengaruhnya sama sekali tidak signifikan.
Di Asia dan Asia Tenggara, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Indonesia, Brunei, serta negara Muslim lainnya, tentu secara moral memihak Palestina. Bahkan, mayoritas negara-negara di dunia juga memilih untuk berdiri di sisi Palestina. Tapi, tatkala berhadapan dengan gerak politik Israel dan Amerika, seolah kekuatan internasional yang menanggung prinsip moral ini terhempaskan begitu saja.
Jika sesama saudara Muslim di Timur Tengah saja tidak bisa bersatu, apakah mungkin mengharapkan persatuan global (Pan-Islamisme)? Tentu impian ini bersifat utopis, meskipun secara moral penting sekali.
Posisi Turki saat ini membanggakan. Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai instrumen politik yang manjur menaklukkan kepentingan domestik. Hanya, dalam persoalan Palestina, Turki tidak pernah memiliki posisi yang pasti dan konsisten. Suatu ketika, karena gerak pragmatisme tertentu, Turki membuka hubungan dagang dengan Israel. Namun ketika kepentingannya diusik, Erdogan menyumpah serapah ke arah wajah Netanyahu.
Kembali ke uforia Hagia Sophia. Seandainya kebangkitannya dianggap sebagai kebangkitan umat Islam dan negara-negara Muslim di kawasan berminat untuk menggenggam tali persaudaraan agama, mereka masih harus berhadapan dengan dinamika politik global yang dimainkan Rusia, Tiongkok, dan Amerika.
Inilah ironi yang harus kita hadapi sekarang ini. Sebenarnya, kenyataan pahit yang dialami Palestina adalah kenyataan pahit bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Hanya, bagaimana meletakkan keberpihakan terhadap perdamaian dan kemanusiaan, harus tertuang dalam gerak politik yang masuk akal dan lebih realistik.
Kita harus ingat bahwa jargon-jargon dan dukungan moral memang dibutuhkan. Itulah yang memperkuat spirit hidup bagi rakyat Palestina. Namun, ketika Dewan Keamanan PBB dan hukum internasional dipecundangi oleh Israel dan Amerika, negara-negara pro-Palestina di dunia tidak bisa berbuat apa-apa.
Mudah-mudahan, kali ini Hagia Sophia menjadi langkah awal gerak perdamaian kaum Muslim dunia. Semoga tidak keliru menggerakkan bidak catur pada langkah berikutnya.