Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Dr Iswinarti MSi. (Humas UMM/KLIKMU.CO)
KLIKMU.CO – Tren parenting Sad Beige Mom belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Istilah ini sering dikaitkan dengan orang tua yang menggunakan warna-warna lembut (netral) seperti beige, putih, dan krem sebagai kiblat gaya estetika dalam pengasuhan anak.
Tren ini diklaim memiliki nuansa klasik dan bersih, sehingga semakin populer di berbagai kalangan masyarakat global, termasuk Indonesia. Meskipun dianggap estetis, tren ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai dampaknya terhadap perkembangan psikis anak.
Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof Dr Iswinarti MSi menegaskan pentingnya pemilihan dan variasi warna dalam mendukung stimulasi visual dan perkembangan kognitif anak sejak bayi.
“Pada saat bayi beranjak usia 2-3 bulan, pergerakan benda dan suara-suara sangat berpengaruh terhadap stimulasi penglihatan dan pendengaran bayi. Sedangkan, dengan segala keterbatasan, penglihatan bayi cenderung menangkap benda berwarna cerah atau yang memiliki kontras tinggi, seperti hitam, putih, merah, kuning, dan lainnya,” ungkapnya, Kamis (2/1/2025).
Setelah itu, anak berada pada tahap perkembangan stimulasi kognitif, di mana anak mulai mampu melakukan klasifikasi warna. Pada umumnya, orang tua akan memperkenalkan warna dasar kepada anak, seperti merah, kuning, dan hijau. Sehingga, di tahap selanjutnya anak mampu melakukan klasifikasi warna yang dihasilkan dari kombinasi warna dasar tersebut, yang biasa dikenal dengan warna pelangi.
Selain itu, Iswinarti juga mengungkapkan bahwa psikologi warna merepresentasikan emosional, seperti warna cerah yang menggambarkan keceriaan dan semangat, sedangkan hitam dapat berarti kesedihan yang mendalam.
“Biasanya, anak akan cenderung mengenal warna dasar dan turunan kombinasinya atau warna-warna pelangi dari hasil perkembangan stimulasi kognitif. Sehingga, ketika anak hanya diberi satu warna yang tidak menarik perhatian, kemungkinan stimulasi kognitif anak akan terganggu,” jelasnya.
Terlepas dari fenomena tren ini, Iswinarti memandang bahwa perbedaan selera terhadap warna, gaya, dan sebagainya adalah hal yang wajar. Namun, ia menilai penggunaan diksi ‘sad’ dalam istilah tren ini cukup berlebihan.
Iswinarti juga menekankan bahwa orang tua, terutama ibu, tidak boleh egois dengan memaksakan kehendak atau selera mereka kepada anak. Hal ini dapat mengganggu perkembangan psikis dan kognitif anak.
“Sejatinya, orang tua tidak boleh memaksa anak untuk menuruti kehendak atau passion mereka. Karena salah satu unsur penting dalam optimalisasi perkembangan anak adalah stimulasi emosi yang tercermin dalam pola serta metode parenting orang tua,” ungkapnya.
Terakhir, ia menegaskan bahwa pada masa stimulasi perkembangan anak, variasi warna sangat penting diterapkan. Ia juga berharap masyarakat, khususnya para orang tua, lebih bijak dalam memilih hal-hal yang berkaitan dengan parenting.
(Wildan/AS)