Dr Pradana Boy ZTF mengisi Simposium Keislaman dan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Kelompok KKN Pengembangan Cabang dan Ranting (PCR) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya). (Aris Syahroni/KLIKMU.CO)
KLIKMU.CO – Muhammadiyah adalah organisasi yang kurang “sombong”. Hal itu tercetus dari Dr Pradana Boy ZTF dalam Simposium Keislaman dan Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Kelompok KKN Pengembangan Cabang dan Ranting (PCR) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) pada Ahad (31/7/2022).
Acara yang berlangsung di Aula MAM 02 Pondok Modern Paciran Lamongan itu mengangkat tema Dar Al-Ahd Wa Al-Shahadah: Pemikiran Muhammadiyah dalam Negara Pancasila.
Kegiatan ini diikuti lebih dari 100 peserta yang merupakan perwakilan ortom IPM, Nasyiatul Aisyiyah, dan Pemuda Muhammadiyah. Pradana Boy, dosen Universitas Muhammadiyah Malang, didapuk menjadi pemateri.
“Ada tiga kepribadian yang menjadi ciri Muhammadiyah,” kata Boy, sapaan akrabnya.
Pertama, modern. Sebagai anggota sekaligus kader, kita tidak boleh tertinggal dan harus selalu mengikuti perkembangan zaman. Kedua, moderat. Kita berada di tengah-tengah dan sebagai penyambung.
“Dalam pemerintah, kita tidak tunduk dan juga tidak menolak. Muhammadiyah selalu hadir dalam segala apa yang ada di negara. Jika kebijakan itu baik, Muhammadiyah akan mendukung. Tapi jika itu buruk, kita hadir memberikan masukan,” jelas pria yang juga Wakil Dekan I FAI UMM tersebut.
Ketiga, sak madya. Artinya, menjadi Muhammadiyah itu seperlunya. Tidak pernah dalam sejarah tokoh Muhammadiyah yang memiliki jabatan dalam pemerintahan adalah dengan tujuan memperkaya dirinya dengan memanfaatkan jabatan yang dimiliki.
Sebelum mengakhiri materinya, ia mengutip ungkapan Prof Kuntowijoyo, “Tidak akan lahir masyarakat menengah baru jika Muhammadiyah tidak hadir untuk pendidikan bangsa Indonesia yang tidak bisa dijangkau oleh negara.”
“Ungkapan Prof Kuntowijoyo ini sangat relevan bagi kehidupan saya. Karena saya menjadi seperti hari ini karena berkat pendidikan Muhammadiyah yang hadir di tempat kelahiran saya, Desa Mencorek, Kecamatan Brondong, Kab Lamongan,” tuturnya.
Boy menceritakan, dulu dirinya belajar di ruangan kecil yang semua anak dan semua umur belajar jadi satu dengan guru yang sama dan materi yang disampaikan terserah guru yang mengajar. Beberapa tahun kemudian, mereka berpindah dan belajar di gedung yang lebih baik.
“Dan kita dikelompokkan sesuai dengan umur. Umur menjadi dasar dalam penentu kita masuk kelas berapa. Sejak saat itulah saya mengenal pendidikan Muhammadiyah hingga sampai saat ini,” tandasnya. (Aris Syahroni/AS)