Sekolah favorit di tengah sistem zonasi.(Freepik/master1305)
Penulis Albertus Adit
Editor Albertus Adit
KOMPAS.com - Sejak 2017, pemerintah menerapkan kebijakan baru yakni sistem zonasi pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Adapun kebijakan itu untuk mengubah persyaratan pada penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri. Namun, apakah zonasi membawa perubahan positif dalam ruang lingkup pendidikan?
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. H. Akhsanul In'am, Ph.D., memberikan pandangannya.
Ia menjelaskan, sistem zonasi memiliki tujuan yang bagus. Tentu agar anak-anak dapat melakukan pembelajaran tanpa adanya unsur pilah-pilah berdasarkan kepintaran yang mereka miliki.
Selain itu juga berefek pada pemerataan kualitas guru tanpa melihat popularitas sekolah.
Tak hanya itu saja, Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Matematika UMM tersebut juga menegaskan beberapa hal yang harus diperhatikan dari sistem zonasi.
Salah satunya yakni para pengajar harus mampu memberikan kualitas pengajaran yang sama pada setiap sekolah, sehingga para siswa tidak merasakan perbedaan.
Sebab, setiap sekolah akan memiliki input siswa yang bervariatif. Hal itu akan membuat pengalaman pendidik tidak jauh berbeda.
"Mereka harus mengajar dan mendidik siswa yang berbeda-beda tingkat kecerdasannya. Para pengajar juga harus mampu memaksimalkan potensi siswa dan mendorong mereka di level terbaik," ujarnya dikutip dari laman UMM, Kamis (20/7/2023).
Adapun hal yang perlu dipahami adalah sistem zonasi memiliki dampak positif dan negatif. Maka perlu adanya pengembangan dan perbaikan.
"Saya rasa, pada dasarnya setiap sekolah memiliki tingkat kualitas pendidikan tak jauh berbeda. Tergantung dari kualitas pengajaran dan pendidikan yang diberikan oleh guru di setiap sekolah terkait," imbuhnya.
Namun, sistem zonasi ini tak luput dari tantangan. Salah satunya terkait jarak sekolah bagi calon siswa.
Misalnya saja saat siswa ingin bersekolah di sekolah A meski berbeda zonasi karena lebih dekat dengan rumah. Namun karena kebijakan itu, mereka tidak bisa melakukannya dan malah masuk di sekolah yang jauh dari rumah karena dianggap masih di satu zonasi.
Tapi beruntungnya, masalah ini sudah mendapatkan solusi dengan mengurangi persentasi penerimaan dari sistem zonasi.
Yakni paling sedikit 70 persen untuk sekolah dasar (SD), 50 persen untuk sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
Sehingga peluang calon siswa untuk bersaing di jalur reguler makin besar karena kuotanya bertambah.
Di samping itu, kecurangan juga harus mendapat perhatian khusus. Menurut In’am, penitipan calon siswa ke para petinggi yang dilakukan sejumlah oknum harus ditiadakan.
Sehingga persaingan sehat antar siswa dalam upaya masuk ke sekolah bisa tumbuh.
"Semua sistem yang sudah dibangun ini akan sia-sia jika di dalamnya masih terdapat kecurangan-kecurangan yang merugikan sebelah pihak. Mari ajarkan nilai moral yang sesungguhnya kepada para penerus bangsa," tandasnya.