Ilustrasi: Didie SW
Hari Kesehatan Nasional yang diperingati setiap 12 November menarik untuk dicermati. Tidak hanya ritual tahunan perayaannya seperti upacara, seminar, perlombaan, dan pengabdian kepada masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah melakukan refleksi bagaimana sistem kesehatan yang ada dan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia saat ini.
Hari Kesehatan Nasional (HKN) diawali oleh Presiden pertama RI Soekarno menyemprotkan insektisida dichloro diphenyl trichloroethane (DDT) pada 12 November 1959 di Desa Kalasan, Yogyakarta.
Saat itu malaria menjadi ancaman kesehatan masyarakat Indonesia. Banyak korban meninggal karena penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk ini.
Pemerintah mendirikan Dinas Pemberantasan Malaria tahun 1959 dan berganti nama menjadi Komando Operasi Pemberantasan Malaria (Kopem) pada Januari 1963. Alhamdulillah, lima tahun kemudian kondisi ini teratasi.
Tahun 2022 ini sudah yang ke-58 diperingati HKN dengan tema ”Bangkit Indonesiaku Sehat Negeriku”. Tema ini dipilih untuk mengungkapkan bangkitnya semangat dan optimisme seluruh komponen masyarakat Indonesia seiring dengan transisi dari pandemi Covid-19 ke endemi Covid-19.
Cerminan HKN tahun ini bisa kita awali dari tantangan transformasi sistem kesehatan di Indonesia dari layanan sekunder dan tersier ke arah pelayanan primer.
Enam pilar
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, dibutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih siaga, antisipatif, responsif, dan tangguh dalam menghadapi ancaman masalah kesehatan yang terjadi saat ini ataupun di masa akan datang.
Diperlukan langkah konkret dengan melakukan transformasi sistem kesehatan yang fokus pada enam pilar, yaitu layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan.
Cerminan HKN tahun ini bisa kita awali dari tantangan transformasi sistem kesehatan di Indonesia dari layanan sekunder dan tersier ke arah pelayanan primer. Pelayanan primer artinya pelayanan promotif dan preventif menjadi pilar dan fondasi utama pelayanan kesehatan, di samping pelayanan kuratif dan rehabilitatif.
Pelayanan kesehatan promotif adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan. Adapun pelayanan kesehatan preventif adalah kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan atau penyakit. Tak mudah memang untuk transformasi ini, tapi bukan berarti tak bisa.
Hal utama yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia adalah masalah gizi pada anak, masih tingginya penyakit menular dan tidak menular, dan pembiayaan kesehatan yang terus meningkat.
Contoh, kasus tuberkulosis (TBC). Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dengan penderita TBC terbesar kedua di dunia.
Sisi lain terkait masalah pendanaan kesehatan, yaitu kurangnya dana yang tersedia, penyebaran dana yang tidak sesuai, pemanfaatan dana yang tidak tepat, pengelolaan dana yang belum sempurna, serta biaya kesehatan yang makin meningkat dan sangat menyedot uang negara.
BPJS yang dibentuk 1 Januari 2014 sebagai bentuk transformasi dari PT Askes saat itu dari tahun ke tahun selalu mengalami defisit.
Ilustrasi: Didie SW
Indikator kesehatan
Salah satu ukuran kesehatan untuk menjawab sudahkah Indonesia sehat adalah Indeks Ketahanan Kesehatan Global (IKKG). Terdapat enam kategori penilaian, meliputi pencegahan, deteksi dan pelaporan, kecepatan merespons, sistem kesehatan, pemenuhan terhadap standar internasional, dan risiko lingkungan.
Skor berada di skala nol hingga 100. Makin besar skor, tingkat ketahanan kesehatan global makin baik. Indonesia menempati peringkat ke-13 di antara negara G20 pada 2021 dengan skor 50,4 poin. Sementara di Asia Tenggara, Indonesia masih kalah dari Thailand, Singapura, dan Malaysia.
Masalah kesehatan tentu saja tidak hanya dialami Indonesia. Semua negara di dunia ini memiliki masalah kesehatan, termasuk negara maju sekalipun.
Kebijakan global telah dicanangkan. Setidaknya terdapat tiga tonggak penting (milestone), yaitu Kesehatan untuk Semua (Health for All/HFA) tahun 1978-2000, Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) tahun 2000-2015, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) periode 2015-2030.
Dua tonggak penting itu telah terlewati dan masih belum berhasil secara sempurna.
HFA gagal karena adanya penolakan dari para ahli dan politisi di negara maju untuk menerima prinsip bahwa masyarakat harus merencanakan dan mengimplementasikan layanan kesehatan mereka sendiri.
MDGs belum sukses karena pembangunan yang belum merata, buruknya infrastruktur, dan juga kualitas pelayanan kesehatan yang tidak sama antarprovinsi.
Saat itu Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Millennium Development Goals mengakui ada tiga target MDGs yang sulit dicapai pada 2015, yaitu target penurunan angka kematian ibu melahirkan, target penurunan angka penyebaran HIV/AIDS, serta akses air bersih dan sanitasi dasar.
Transformasi paradigma
Akankah SDGs (2015-2030) yang kurang tujuh tahun lebih sedikit juga terancam gagal. Padahal, Presiden Joko Widodo juga sudah mengeluarkan kebijakan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK).
Tentu saja salah satu jawabannya adalah transformasi paradigma sakit ke arah paradigma sehat serta layanan primer dengan penekanan pada upaya promotif dan preventif. Dengan paradigma ini, pembiayaan kesehatan dapat ditekan.
Memang ikhtiar promotif dan preventif jauh tidak menarik dan menjual dibandingkan dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Mengobati yang sakit dan melakukan rehabilitasi pascasakit lebih menarik meskipun ongkosnya mahal (high cost). Kalau ini terus dilakukan, negara akan defisit pendanaannya.
Upaya mencegah dan meningkatkan derajat kesehatan menjadi jawaban dari hipotesis di atas. Caranya, dengan memandirikan pasien.
Selain itu, dengan memberdayakan keluarga dan masyarakat untuk memahami ancaman dan masalah kesehatannya dengan pendampingan dari petugas kesehatan, seperti perawat kesehatan masyarakat, yang bekerja sama dengan tim kesehatan lain yang berbasis masyarakat.
Enam belas tahun yang lalu, tepatnya tahun 2006, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengeluarkan kebijakan Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) Nomor 279/Menkes/SK/IV/2006.
Perkesmas Nomor 279 ini merupakan salah satu upaya puskesmas yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan memadukan ilmu/praktik keperawatan dengan kesehatan masyarakat lewat dukungan peran serta aktif masyarakat.
Ilustrasi: Didie SW
Perkesmas ini lebih mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara menyuluh dan terpadu. Selain itu, langkah itu ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat untuk ikut meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal sehingga mandiri dalam upaya kesehatannya.
Namun sayang, program ini masih belum menjadi agenda utama pembangunan di bidang kesehatan.
Ada baiknya kita kembali becermin: mungkinkah petugas kesehatan di Indonesia, dengan berbasis pada komunitas atau masyarakat, merapatkan barisan dan membangun masyarakat Indonesia dengan berorientasi pada masyarakat yang masih sehat?
Ataukah memilih menghadapi risiko tinggi mengalami masalah kesehatan dengan hanya fokus pada program pengobatan dan rehabilitatif?
Semoga HKN Ke-58 ini menjadi pengingat buat kita semua untuk meningkatkan kesehatan rakyat Indonesia.
Yoyok Bekti Prasetyo Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Malang