Author : Humas | Senin, 25 Mei 2015 03:00 WIB | Koran Jakarta - Koran Jakarta

JAKARTA - Sejumlah kalangan meminta DPR mewaspadai rencana pemerintah menarik pinjaman siaga (standby loan) dari kreditor internasional, seperti Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Selain secara historis dinilai tidak efektif, standby loan berpotensi membebani keuangan negara akibat pengenaan berbagai biaya, misalnya up-front fee dan komitmen fee, ditambah dengan persyaratan lain yang lebih menguntungkan kreditor.

Oleh karena itu, Dewan semestinya juga mengkritisi komitmen Bank Dunia memberikan pinjaman siaga 11 miliar dollar AS kepada Indonesia. Pasalnya, utang itu mensyaratkan pembayaran komitmen fee 0,35 persen dari total pinjaman meskipun tidak jadi ditarik. Hal itu tentunya akan memboroskan keuangan negara.

“Pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan seharusnya tidak sewenang-wenang menambah utang begitu saja. Sebaiknya minta pendapat DPR terlebih dulu, apalagi terkait dengan commitment fee,” kata Sekretaris Jenderal Forum Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto, saat dihubungi, Minggu (24/5).

Agar pemerintah tidak sewenang-wenang, Yenny mengusulkan agar DPR segera merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terutama pasal 6 yang memberikan keleluasaan kementerian keuangan membuat komitmen utang tanpa persetujuan DPR bahkan presiden. Artinya, ada celah yang sangat lebar di kementerian keuangan untuk melakukan moral hazard terkait perjanjian-perjanjian utang baru. 

“Tentu saja ini tidak sesuai dengan konstitusi sebab utang punya konsekuensi serius bagi masa depan bangsa, DPR harus ikut membahasnya sebagai fungsi bujeting dan pengawasan,” kata Yenny.

Lagipula, selama ini penarikan utang secara terus-menerus ternyata tidak diiringi tingkat penyerapan yang baik. Berdasarkan data Bappenas, selama 12 tahun terakhir (2000-2011) kemampuan untuk menyerap utang luar negeri, misalnya, rata-rata hanya berkisar 71,2 persen. Hal itu berakibat timbulnya beban tambahan dalam bentuk pembayaran komitmen fee. Hingga Agustus 2012, Kementerian Keuangan mencatat jumlah kumulatif utang luar negeri yang belum ditarik mencapai 157,9 triliun rupiah.

Yenny juga mengingatkan setiap utang yang ditarik dari Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lain pasti memiliki konsekuensi untuk tunduk pada aturan mereka seperti harus mengimpor barang-barang modal dari negara-negara yang menjadi kreditur utama mereka. “Apalagi Jokowi lagi gairah bangun infrastruktur, jangan sampai utang akhirnya hanya memfasilitasi industri negara pendonor,” ujar Yenny.

Perkuat Pengaruh

Sebelumnya dikabarkan, tawaran standby loan dari Bank Dunia sebesar 11 miliar dollar AS kepada Indonesia dinilai tidak efektif karena pinjaman tersebut diperkirakan untuk memperkuat cadangan devisa untuk menahan kurs rupiah agar tidak merosot hingga level psikologis baru di 14.000 rupiah.

Pinjaman siaga sebesar itu, yang sudah pasti dikenakan fee meskipun nantinya tidak jadi ditarik, diibaratkan hanya memberikan nafas sementara bagi Indonesia karena tidak cukup untuk membiayai 3 bulan impor Indonesia.

Selain itu, tawaran Bank Dunia tersebut diduga sebagai upaya untuk mendekati dan memperkuat pengaruh di Indonesia, sehingga Indonesia tidak terlalu mengandalkan Bank Investasi Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/AIIB) yang diprakarsai Tiongkok. AIIB bakal menjadi kekuatan keuangan global baru di Asia menyaingi Bank Dunia yang dimotori Amerika Serikat.

Yenny menilai jika pemerintah menerima tawaran utang Bank Dunia, ini menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara masih jauh dari yang digembor-gemborkan Presiden Joko Widodo selama ini. Segala janji peningkatan penerimaan dan pengetatan pengeluaran tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.

“Ternyata masih sama saja, utang masih jadi andalan untuk membiayai defisit. Dengan performa awal ini, barangkali defisit anggaran justru akan di atas target, dan utanglah yang akan jadi sandaran,” papar dia.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Malang, Nazaruddin Malik, menilai perlunya pengawasan ketat agar utang dari Bank Dunia tidak menjadi ajang perburuan rente pihak tertentu. "Pemburu rente akan selalu ada menggunakan baju apa saja, apakah swasta atau lainnya sehingga lalu-lintas devisa ini perlu diawasi secara ketat. Sehingga kalaupun ada makelar, selama dikelola dengan mekanisme yang benar, fee pinjaman tidak jatuh ke orang-perorangan," kata dia.

Nazaruddin juga menyarankan sebelum pemerintah memutuskan menerima pinjaman tersebut harus melakukan perbaikan tata kelola anggaran terlebih dahulu.YK/SB/WP

Sumber: http://www.koran-jakarta.com/?31283-komitmen%20%E2%80%9Cfee%E2%80%9D%20utang%20bank%20dunia%20bebani%20anggaran
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler