MUTU PENDIDIKAN RENDAH AKIBAT BIROKRASI LAMBAN

Author : Humas | Senin, 19 Mei 2008 06:58 WIB | Koran Pendidikan - Koran Pendidikan

 

Drs Muhammad Mas’ud Said MM PhD

 

Komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan, secara konstitusional benar-benar baru ditunjukkan pada satu dekade terakhir, setelah UU No 2 Tahun 1989 dianggap tidak lagi relevan. Kebijakan politik pendidikan melalui amandemen UUD 45 ini ‘memaksa’ pemerintah mengalokasikan 20 persen dari Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan.

 

”Penekanan dari besarnya alokasi anggaran untuk pendidikan ini pada pemerataan akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan dan peningkatan mutu pelayanan pendidikan,” terang Mas’ud Said, dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
 

Menurutnya beberapa tahun terakhir pemerintah memang terkesan menggenjot pendidikan agar kapabilitas lulusan bisa mengangkat HDI (Indeks Pembangunan Manusia) di bidang sumberdaya manusia Indonesia. Dengan demikian kualitas perekonomian rakyat akhirnya juga dapat terangkat. Hanya dibanding negara manapun, perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan anak bangsa tergolong terlambat.

 

Jauh-jauh hari, negara lain menempatkan pendidikan sebagai yang terpenting dan prioritas. Ini bisa dibuktikan dengan pelayanan pendidikan yang murah dengan tetap memperhatikan mutu. ”Pemerintah mestinya sudah memberikan pendidikan murah, bahkan gratis, untuk pendidikan dasar/menengah seperti yang dilakukan bangsa lain,” sesal almnus School of Political and International Studies Flinders University Adelaide, Australia ini.

 

Bahkan Mas’ud Said amat menyesalkan munculnya kecenderungan sikap sebagian kalangan yang menjadikan pendidikan sebagai sebuah komoditas yang membuat pendidikan menjadi barang yang mahal. Sementara kondisi kekinian sistem pendidikan masih lemah dilihat dari kualitas lulusannya, beratnya tuntutan global yang menghendaki keunggulan kompetitif, serta masih tingginya tuntutan masyarakat terhadap pendidikan yang murah.


Pelayanan pendidikan di Indonesia lebih menekankan masyarakat  usia 7-17 tahun (pendidikan dasar, red) yang tidak sekolah. Education for all (pendidikan untuk semua) sebagai hak rakyat masih belum sepenuhnya bisa dipenuhi pemerintah. Di Jawa Timur, misalnya, memiliki angka illiteracy (buta aksara) paling tinggi di Indonesia.
”Agar bisa sejajar dengan bangsa lain, pendidikan di Indonesia memang perlu akselerasi peningkatan mutu. Sayangnya, pelayanan pendidikan bagi masyarakat selama ini masih terjerembab pada pola birokratisasi di Indonesia. Akibatnya, pemenuhan dan pelayanan pendidikan ikut-ikutan menjadi lamban, tidak produktif, dan kurang inovatif,” imbuh Mas’ud.
Ditambahkan, meski sudah dibuat kebijakan ke arah percepatan peningkatan mutu pendidikan, hal ini masih sebatas pada tataran regulasi. Sebaliknya, dalam tataran praktis peningkatan mutu masih saja terbelit realitas birokratisasi yang kontraproduktif dengan upaya ini. Apalagi, tidak sedikit ’oknum’ birokrat pendidikan yang masih saja memanfaatkan kebijakan pusat untuk pendidikan sebagai proyek demi keuntungan pribadi.
Padahal, birokrasi yang dikembangkan selama ini tidak menjadi driving forces (kekuatan pendorong), justru menjadi alat kendali yang terlalu mengikat, interventif, atau, bahkan, penghambat kreativitas. Tidak sedikit satuan pendidikan (sekolah/madrasah) yang ’maju-mundur’ melakukan pengembangan pelayanan pendidikannya akibat terlalu berorientasi pada intervensi atasan (birokrat).

 

”Masih banyak mentalitas birokrat pendidikan yang berorientasi juklak/juknis (petunjuk pelaksanaan/teknis) yang hanya banyak menunggu arahan dan instruksi dari atasan (pusat),” beber direktur Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACISIC) UMM ini.
Karena itu, menurutnya, perlu reformasi birokratisasi pendidikan agar pelayanan dan peningkatan mutu bisa dilakukan secara maksimal. Bagaimana pun, pelayanan pendidikan tidak terlepas dari organisasi dan sumberdaya manusia penyelenggaranya. Bagaimana semestinya birokrat pendidikan yang baik?

 

Wakil ketua DPP Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) ini pun angkat bicara. Menurutnya, seorang birokrat harus selalu beradaptasi dengan kondisi sekitar serta menjadikan lingkungan eksternal menjadi input positif. Misalnya, birokrat sekaligus penyelenggara pendidikan mestinya banyak merespon standar-standar pelayanan pendidikan internasional.
 

”Di Indonesia, peserta didik banyak dijejali muatan-muatan kognitif yang sifatnya memori. Padahal, di luar negeri anak tidak disibukkan dengan tugas Pekerjaan Rumah (PR), melainkan lebih pada pengayaan media dan memberikan pengalaman kebebasan berkreasi, berinovasi, dan mengembangkan nalarnya,” ujarnya panjang lebar.

 

Ditambahkan Mas’ud, pola pikir komprehensif dan utuh juga dibutuhkan dalam manajemen dan birokrasi pendidikan. Standarisasi, kualifikasi, spesialisasi, dan kompetensi harus sepenuhnya dan secara keseluruhan digunakan dalam memberikan pelayanan pendidikan.
Pun, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan sangat membutuhkan sinergi, kerjasama (team-building), dan partsipasi. ”Organisasi profesi (seperti PGRI, MGMP) dan peranserta masyarakat (dalam komite sekolah, dewan pendidikan) sangat besar kontribusinya terhadap pemenuhan hak pendidikan anak bangsa,” imbuhnya.

 

Dalam kerangka demokratisasi dan desentralisasi, jalinan hubungan antarpribadi yang baik serta kesempatan yang luas untuk berkontribusi sangat penting agar pelayanan pendidikan dapat efektif dan efisien. Impelementasi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) dan RIPS (Rencana Induk Pengembangan Sekolah) adalah keharusan. Sebaliknya, dominasi dan kekakuan sangat tidak kondusif dikembangkan dalam manajemen satuan maupun pelayanan birokrasi pendidikan. Dominasi manajemen one man show dan kultur atasan-bawahan yang terlalu pakem dan kaku harus dihindari oleh birokrat pendidikan.(*)

Sumber: http://www.koranpendidikan.com/artikel/786/mutu-pendidikan-rendah-akibat-birokrasi-lamban.html
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler