TEMPO.CO, Malang--Seorang kader lingkungan di Kota Malang berhasil menciptakan sebuah alat pengolah sampah plastik menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM). Seperti bekas pembungkus plastik dan tas kresek. BBM yang dihasilkan berupa bensin atau premium dan solar, bahkan sebagian juga menghasilkan minyak pelumas atau oli. "Tergantung jenis plastik," kata kader lingkungan Kelurahan Bunulrejo Kecamatan Blimbing Kota Malang, Muhammad Ayyub.
Setiap tiga kilogram limbah plastik berubah menjadi satu liter BBM. Peralatan produksi BBM ini dirancang dan diproduksi sendiri. Terdiri dari sebuah tabung kompor bertekanan tinggi dan alat destilasi sederhana. Proses destilasi diawali dengan pemanasan plastik hingga 300 derajar celsius hingga menguap. Uap bergerak menuju kondenser untuk pendinginan untuk dikembalikan berbentuk cair.
Dalam proses yang membutuhkan waktu selama 45 menit ini dihasilkan tiga cairan berbeda, yakni premium, solar dan minyak pelumas. Proses desain dan perencanaan alat sekitar satu bulan, sedangkan perakitan alat sekitar lima hari. Namun, alat ini masih dibutuhkan penyempurnaan agar lebih efesien.
Proses pembakaran menggunakan bahan bakar gas metana (CH4) yang dihasilkan dari penumpukan sampah organik. Bahan bakar gas metana diperoleh secara cuma-cuma di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) SUpit Urang. Sedangkan jika menggunakan bahan bakar lain akan membutuhkan dana besar. Sehingga bahan bakar dari limbah plastik tak ekonomis.
Kini, ia tengah merancang memperbesar produksi sehingga bisa digunakan di TPA Supit Urang. Sehingga BBM yang dihasilkan lebih besar dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Tak hanya memenuhi kebutuhan BBM untuk truk pengangkut sampah tapi juga bisa dipasarkan untuk meningkatkan nilai jual sampah.
Produksi sampah tiap tahun terus bertambah, seiring pertambahan jumlah penduduk. Setiap hari warga Kota Malang menghasilkan sampah sebanyak 616 ton. Sekitar 64 persen diantaranya berupa sampah organik. Selebihnya adalah sampah unorganik yakni sampah plastik yang tak bisa didaur ulang. "Banyak sampah plastik menumpuk di TPA," kata Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang, Wasto.
Sementara potensi gas metana di TPA Supit Urang mencapai 4.521 ton per tahun. Sedangkan gas metana yang ditangkap dan dimanfaatkan warga sekitar hanya 148 ton per tahun atau sekitar tiga persen. "Jaringan pipa gas dipasang sampai 1,2 kilometer," katanya.
Sebelumnya, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama GELF (Global Eco Foundition) asal Belanda menggunakan dana world Bank mengolah gas metana menjadi listrik. Berdasar penelitian tumpukan sampah di TPA Supit Urang menghasilkan tenaga listrik hingga 5,56 Megawatt atau sekitar 7,03 persen dari produksi listrik di Indonesia. Namun, sampai saat ini program tersebut terhenti.