Gambar dibuat dengan teknologi AI.
Sebagai calon akuntan, mahasiswa akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bukan hanya dituntut memahami laporan keuangan atau aturan perpajakan, tetapi juga harus siap menjunjung tinggi etika profesi. Pertanyaannya, apakah mahasiswa zaman sekarang benar-benar peduli soal ini?
Apa pendapat mereka tentang kejujuran, tanggung jawab, dan prinsip moral lainnya di era serba cepat ini? Kami menggali jawabannya lewat pandangan langsung dari mahasiswa UMM.
“Etika profesi itu kayak pondasi rumah. Kalau nggak ada, ya runtuh semuanya,” ujar Rayya, mahasiswa tahun ketiga. Ia menambahkan bahwa etika bukan cuma soal aturan, tapi soal karakter.
“Nilai-nilai Islam di UMM ngajarin saya untuk jujur, bertanggung jawab, dan nggak cuma ngejar hasil instan. Ini berlaku di tugas kuliah, juga di dunia kerja nanti.
Sementara itu, Hilman melihatnya dari sudut pandang spiritual. “Di Islam, kejujuran itu amanah. Ketika kita melanggar etika, kita bukan cuma melanggar aturan manusia, tapi juga tanggung jawab kita ke Allah. Jadi, etika itu bukan sekadar formalitas, tapi bentuk ibadah.”
Banyak mahasiswa merasa tantangan menjaga etika meningkat ketika tidak ada pengawasan. Tapi Azzam punya perspektif berbeda. “Buat saya, etika itu personal banget. Kalau cuma jujur pas ada yang lihat, itu berarti belum paham makna etika sebenarnya.”
Hal serupa disampaikan Alona, yang percaya bahwa integritas sejati terlihat saat kita sendirian. “Kalau kita bisa tetap jujur tanpa pengawasan, itu yang bikin kita beda dan lebih dihargai di dunia kerja nanti.”
Etika juga bukan cuma soal diri sendiri. Bintara Duta menceritakan pengalamannya dalam tugas kelompok. “Kadang, ada teman yang cuek soal tugas karena merasa itu urusan individu. Padahal, kalau kita nggak bertanggung jawab, efeknya kena ke seluruh tim. Jadi, etika itu juga tentang empati dan tanggung jawab ke orang lain.”
Chahyani menyoroti sisi jangka panjang. “Kalau kita terbiasa nggak etis, itu akan nempel ke reputasi kita. Sebaliknya, kalau selalu etis, kepercayaan dari orang lain bakal ngikut, baik di kampus maupun di dunia kerja.”
Bukan rahasia lagi kalau perbedaan latar belakang memengaruhi cara seseorang memandang etika. Arida, mahasiswa perempuan asal luar Jawa, merasa ada ekspektasi lebih tinggi terhadapnya. “Kadang saya merasa harus lebih tegas menjaga etika karena ada stereotip kalau perempuan itu lebih nggak tegas atau nggak berani ambil sikap. Tapi justru itu bikin saya makin kuat dan percaya diri.”
Sedangkan Putri melihat interaksi dengan teman-teman dari berbagai daerah sebagai pelajaran penting. “Bekerja bareng orang dengan latar belakang beda itu bikin saya sadar kalau setiap orang punya standar etika sendiri. Tapi justru dari situ, kita bisa belajar saling memahami dan menghargai.”
Beberapa mahasiswa juga menyoroti peran lingkungan kampus dalam membentuk pemahaman etika mereka. Reno menilai UMM telah berhasil menanamkan nilai-nilai moral lewat pendidikan berbasis Islam. “Etika di kampus itu kayak latihan. Kalau kita nggak bisa jujur di tugas kecil, gimana nanti di dunia kerja yang tanggung jawabnya jauh lebih besar?”
Anggi punya pandangan serupa. “Di UMM, saya belajar bahwa sekecil apapun tindakan kita, kalau nggak etis, pasti ada dampaknya. Ini ngajarin saya untuk lebih hati-hati, baik di tugas individu maupun kelompok.”
Lewat berbagai pandangan ini, jelas bahwa mahasiswa akuntansi UMM masih menganggap etika profesi sangat relevan. Dari kejujuran tanpa pengawasan, tanggung jawab di tugas kelompok, hingga empati terhadap orang lain, etika bukan sekadar aturan, tapi refleksi siapa kita sebagai individu.
Sebagai kampus berbasis nilai Islam, UMM punya peran besar dalam membentuk karakter mahasiswanya. Harapannya, lulusan UMM nggak cuma jadi akuntan yang pintar hitung-hitungan, tapi juga profesional yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya.
Jadi, kalau kamu berpikir etika itu kuno, mungkin perlu mempertimbangkan ulang. Karena di dunia nyata, karakter adalah segalanya.
Penulis: Muhammad Fadly Agil Rizad
Mahasiswa Prodi Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang