Pertengahan bulan lalu publik dikejutkan persoalan pelecehan seksual yang terjadi di sekolah swasta terkenal di Kota Batu. Temuan Komnas Perlindungan Anak (KPA) menyatakan bahwa telah terjadi pelecehan seksual siswa ringan dan berat terhadap siswi-siswi SMA tersebut.
Demi memudahkan proses pengadilan, majelis hakim di Pengadilan Negeri Kota Malang melakukan penahanan pada JEP, orang yang diduga pelaku. Penyelidikan tindak pidana ini terus dikembangkan pada persoalan perlindungan hak-hak anak di bawah umur. Kini kasus ini masih disidangkan. Terlepas dari persoalan hukum, kasus ini telah menjadi isu panas nasional yang menyita perhatian publik.
Kejahatan seksual merupakan persoalan hari ini yang berpotensi terjadi kapanpun dan dimanapun. Sepanjang ada interaksi sosial, tanpa memandang waktu dan wilayah, ia bisa saja terjadi. Namun yang menjadi keheranan penulis, mengapa kasus ini lolos di kota yang sering penulis sebut sebagai desa besar (big village) yang masih kental dengan nilai-nilai agraris dan sistem pengetahuan lokal?
Sistem pengetahuan lokal masih berkembang di rata-rata desa di Kota Batu, seperti kepercayaan (wingit) pada pohon besar, sumber air, punden, dan tempat-tempat yang dikeramatkan lain. Ritual berbasis adat seperti slametan, bersih desa, gadeso, barikan, rembug desa (anjir), dan gugur gunung juga masih terlembaga.
Punden dengan salah satu makna simbolik di baliknya yakni menghormati moralitas dan kebaikan para leluhur, masih memiliki eksistensi sosial. Tidak heran jika kebanyakan persoalan publik di masyarakat seperti suksesi kepemimpinan desa, pembangunan jalan desa, pengelolaan mata air, efek moralitas industri pariwisata dan cacat moral dalam politik banyak diselesaikan secara komunal.
Atas dasar itu, perilaku seksual menyimpang sangat bertentangan dengan nilai-nilai pengetahuan lokal itu. Bukan saja karena merusak norma sosial yang sudah terlembaga ribuan tahun, tetapi perilaku ini juga “menyakiti” kesadaran kolektif masyarakat. Maka, secara sosiologis, seharusnya tanggapan atas kejahatan seksual tidak perlu menunggu proses pengadilan, begitu isu sensitif ini muncul, jiwa massa dari masyarakat otomatis bergerak.
Namun, masyarakat cenderung adem ayem. Seakan-akan tidak ada masalah moral serius di sekitar mereka. Tidak heran jika kejahatan seksual terkesan lepas dari kepentingan dan kontrol sosial masyarakat? Mengapa demikian? Tulisan ini menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Perubahan Kota
Akar ketidakpedulian masyarakat pada isu kriminalitas seksual karena masyarakat permisif. Sikap ini disebabkan oleh perubahan sosial di masyarakat petani. Meminjam terminologi Ferdinand Tonnies (1887), kini masyarakat paguyuban berubah menjadi masyarakat patembayan. Sena Tonnies, sosiolog Emile Durkheim (1893) menyatakan terjadinya perubahan solidaritas mekanik yang sebelumnya mengikat masyarakat, kini menjadi solidaritas organik. Akibatnya, kesadaran kolektif luntur, hukum pun berubah dimana sebelumnya represif menjadi restitutif.
Berkembangnya industri pariwisata dan birokratisasi dalam sistem pemerintahan menjadi sebab perubahan sosial tersebut. Nalar komunal yang terlembaga ribuan tahun berubah menjadi nalar individual. Dalam nalar ini, uang dan otoritas formal sebagai prioritas.
Terlebih dalam kondisi krisis ekonomi yang diguncang pandemi, rasionalitas berpadu dengan komersialisasi yang berjalan kencang. Akibatnya, perkembangan pesat bisnis baru terkait jasa pariwisata dan jasa-jasa lain lepas dari kontrol masyarakat.
Sistem pemerintahan modern dan terstandar turut menggerus praktik-praktik komunal, seperti rembug desa diganti dengan rapat perwakilan, patron client yang mendasari kepercayaan pada kepemimpinan lokal diganti dengan sistem kontrak. Desentralisasi turut menciptakan penggerusan nilai-nilai lokal.
Diakui atau tidak, kebijakan dana desa menyebabkan terlembaganya partisipasi berbasis insentif yang akhirnya menggerus kerelawanan masyarakat. Setiap kegiatan menjadi kegiatan berbasis upah.
Kondisi ini berkontribusi besar pada lunturnya kepedulian sosial. Kini rata-rata masyarakat-terlebih yang tidak memiliki ikatan teritorial geneologis- tidak peduli pada kewilayahan sebagai kesatuan komunitas. Tidak heran, patologi sosial di pedesaan komunal cenderung ditanggapi secara pasif.
Kriminalitas bukan pengganggu kesadaran kolektif karena hukum restitutif membimbing nalar bahwa semua persoalan cukup diserahkan pada lembaga formal atau aparat penegak hukum yang mengurusi hal itu. Kejahatan seksual murni dipersepsi sebagai urusan aparat penegak hukum.
Butuh Pengendalian Sosial Baru
Belajar dari kasus kejahatan seksual di Kota Batu, warga tidak boleh apatis pada perkembangan kota. Justru ini momen tepat mengembalikan tatanan sosial adiluhung yang pernah terlembaga. Untuk itu, penulis menyarankan agar pemerintah dan masyarakat melakukan tiga langkah sebagai berikut.
Pertama, kembali merevitalisasi nilai-nilai agraris. Sejatinya, kultur agraris menghormati nilai esensi seperti mencegah perilaku menyimpang yang lebih besar. Kepercayaan terhadap “kutukan” Prasasti Sangguran misalnya, positif untuk membangun tatanan sosial karena keyakinan bahwa barang siapa yang berbuat destruktif bagi kota, maka akan mendapat celaka (kualat). Selain itu, sebagai keturunan Mbah Batu yang sukses meng-Islamkan kawasan ini, mencegah patologi sosial sama artinya merawat kebaikan leluhur.
Kedua, pendekatan kebijakan. Selain ditempuh dengan pendekatan sosiologis kultural, pendekatan kebijakan juga perlu dipikirkan. Komunitas berpagar (gated communities) menjadi kecenderungan perubahan di Kawasan Malang Raya, termasuk di Kota Batu.
Sosiolog perkotaan, Flanagan (2001) menggambarkan komunitas berpagar sebagai komunitas kecil di kota yang membatasi pintu masuk, membangun pagar dan dinding melingkar, mempekerjakan penjaga pribadi, pemanfaatan kamera pengawas dan detertor inframerah. Konsekuensinya, hunian ini menjadi terisolasi, tersegregasi dan antikomunitas. Kendali pemerintah pada lembaga pendidikan “eksklusif” tidak mudah. Untuk itu dipikirkan kebijakan yang mendisiplinkan pantauan pada semua lembaga. Melalui ini penyimpangan sosial bisa diantisipasi sejauh mungkin.
Ketiga, kontrol masyarakat sipil dan komunitas. Segala bentuk penyimpangan seharusnya mendapat perhatian dari masyarakat sipil sebagai organisasi yang memperjuangkan nilai-nilai dan urusan publik. Banyak organisasi masyarakat sipil dan komunitas yang berkembang di Kota Batu, baik yang merupakan cabang dari organisasi level nasional maupun organisasi yang dibentuk oleh tokoh lokal.
Penghormatan hak-hak kemanusiaan termasuk perlindungan masyarakat dari kejahatan seksual harus disuarakan, kini masyarakat sipil dan komunitas dituntut membuktikan keberpihakan tersebut.(*)