Bila Dapur Media Dikuliti Lewat Film Dokumenter

Author : Humas | Senin, 25 Maret 2013 13:42 WIB | Malang Post - Malang Post

MALANG – Sekitar 600 mahasiswa dan undangan  menghadiri pemutaran film dokumenter “Di Balik Frekuensi” di theater Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kemarin pagi. Film yang menggambarkan hubungan antara pemilik sejumlah media televisi dan produk beritanya itu mengisahkan sosok jurnalis perempuan di Jakarta.
Dalam film besutan Ucu Agustin, sang sutradara spesialis film dokumenter itu mencoba menggambarkan kondisi media di Indonesia yang ia awali dari kisah pemecatan sepihak jurnalis perempuan Metro TV, Luviana. Kisah terus bergulir dengan penggambaran sejumlah kepentingan pemilik televisi yang dengan mudahnya masuk di televisi masing-masing mengalahkan acara lain.
Dalam sesi tanya jawab yang berlangsung usai pemutaran film berdurasi 144 menit itu, sejumlah mahasiswa yang hadir mulai mempertanyakan tentang fungsi pengawasan pada media televisi. Televisi yang dengan mudah masuk di ruang keluarga tanpa harus membeli lebih dahulu terlihat banyak memberitakan peristiwa sesuai dengan kepentingan pemilik media, yang juga figur penting dalam beberapa organisasi politik.
“Kalau seperti ini mana yang benar, banyak informasi yang beredar rakyat jadi bingung,” tanya Fahrurrozi mahasiswa dari Universitas Islam Negeri Malang. Dia bingung melihat dua tayangan berita, antara Metro TV dan TV One yang menayangkan isi dan porsi yang berbeda tentang tragedy Lumpur Lapindo. Beberapa scene dalam film karya Ucu memperlihatkan berita tentang Lapindo yang dikemas berbeda oleh dua stasiun televisi yang dimiliki politisi Partai Nasdem dan Partai Golkar.
Sementara siaran televisi tersebut mengudara di frekuensi publik, yang dikuasai oleh negara dan digunakan untuk menyiarkan kepentingan public. “Film ini menyadarkan publik bahwa ada ancaman besar pada media. Empat dari lima pemilik televisi berafiliasi dengan parpol, kami khawatir frekuensi ini diarahkan pada kepentingan mereka. Film ini juga mengajak pemirsa untuk kritis memilih dan memilah pesan media,” kata Frida Kusumastuti M,Si, dosen Jurusan Komunikasi UMM yang hadir sebagai pembanding.
Namun menurutnya, penikmat media juga bisa bertindak menjadi media watch dengan menyuarakan kritik dan pendapat mereka tentang tayangan merugikan publik. Kritik tersebut bisa dilakukan lewat berbagai media, mulai dari jejaring sosial seperti Facebook, microblogging seperti twitter atau blog pribadi. Kritik dan penilaian tersebut bisa menjadi pemicu sekaligus otokritik bagi media untuk meningkatkan kualitas tayangan mereka.
“Publik adalah sumber kapital bagi media, jika media ditinggal publik pasti akan bingung. Jika publik ngetwit hal yang aneh tentang sebuah tayangan, media harus berfikir untuk meningkatkan kualitas, daripada ditinggalkan publik,” tandasnya.(pit/eno)

Sumber: http://www.malang-post.com/edupolitan/64228-bila-dapur-media-dikuliti-lewat-film-dokumenter
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler