Dimas Kanjeng dan Cermin Budaya Instan

Author : Humas | Rabu, 05 Oktober 2016 11:23 WIB | Malang Post - Malang Post

Oleh : Asri Kusuma Dewanti
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Padepokan Dimas Kanjeng di Probolinggo, Jawa Timur, mendadak terkenal. Hal ini disebabkan pendiri padepokan tersebut, Taat Pribadi Dimas Kanjeng (46), ditangkap pihak keamanan atas dugaan pembunuhan dua orang santrinya. Taat Pribadi selama ini  dikenal luas oleh masyarakat sebagai orang yang punya kemampuan menggandaan uang secara gaib. Bahkan beberapa youtube dan foto-fotonyanya beredar di tengah-tengah masyarakat saat ia  menggandakan uang tersebut. Bayangkan jika ada uang Rp100 ribu rupiah digandakan menjadi puluhan lembar tentu ini sesuatu yang cukup menarik perhatian masyarakat.

Bisnis berkedok agama
Penangkapan Taat Pribadi berdasarkan laporan polisi di Probolinggo pada 6 Juli 2016 lalu, karena dia diduga terlibat dalam perencanaan pembunuhan terhadap dua santrinya, yakni Abdul Gani dan Ismail. Di mana dua santrinya ini dikabarkan berencana membongkar mengenai penggandaan uang yang dilakukan sang guru. Drama penangkapan Taat Pribadi, warga Dusun Sumber Cengkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur ini bukan hal yang gampang. Karena itu, jajaran Polda Jawa Timur menggerebek Padepokan Dimas Kanjeng pada 22 September 2016 dengan melibatkan enam SSK Satuan Brimob Polda Jatim serta didukung personel Sabhara dari Polres Jember, Polres Madiun, Polres Sidoarjo, Polres Malang, Polres Bojonegoro, dan Polres Probolinggo. Operasi penangkapan dipimpin langsung oleh Wakapolda Jatim Brigjen Pol Drs Gatot Subroto. Penangkapan dengan total 1.500- 2.000 personel ini untuk mengantisipasi perlawanan karena tersangka Taat Pribadi disinyalir mempunyai banyak pengikut.
Sejak ia ditangkap oleh pihak kepolisian, muncul nama orang-orang yang cukup dikenal di tengah-tengah masyarakat. Baik kalangan militer bahkan ada juga dari kalangan cendikiawan. Ini membuktikan bahwa, Taat Pribadi mampu mensugesti orang-orang yang berpendidikan dan berpangkat dari kalangan militer tersebut untuk percaya akan kesaktiannya menggandakan uang. Lalu pertanyaannya benarkah Taat Pribadi mempunyai kesaktian tersebut?
Beberapa ulama menyangsikan hal itu. Katib Syuriah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Syafrudin Syarif mengatakan kepada awak media massa bahwa dia bukan kiai, karena dia tidak pernah mengadakan kegiatan keagamaan. Bahkan kalau ada kegiatan agama pun mengundang ulama dari luar untuk ceramah. Lebih tegas lagi ia mengatakan, Taat Pribadi menggunakan agama untuk meraih kepercayaan masyarakat. Aksi penggandaan uang yang digembar-gemborkan selama ini juga hanya trik penipuan saja. Oleh karena itu, Syafrudin mengimbau masyarakat untuk kembali kepada ajaran agama yang benar dengan mengikuti para ulama yang mengajarkan ikhtiar (kerja keras) dan doa.
Melihat fakta yang demikian, terlihat jelas yang kita analisis dan simpulkan fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang saat ini banyak menjadi perbincangan publik adalah cermin budaya instan masyarakat Indonesia. Budaya instan ini lebih mengutamakan kecepatan dibandingkan proses yang mungkin terkesan lebih lama atau lambat. Berbagai usaha instanpun akhirnya dilakukan untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat sehingga tak jarang, masyarakat kita masih percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis. Sehingga tanpa sadar banyak masyarakat khususnya yang imannya lemah akan bergabung dengan orang-orang yang dinilai mempunyai kesaktian. Alasannya cukup sederhana karena mereka ingin kaya tanpa perlu bersusah payah. Padahal hal semacam ini tidak dibenarkan. Silakan kaya, tidak ada yang melarang untuk kaya, tetapi kekayaan itu harus didapatkan dengan cara-cara yang halal dan tidak melanggar nilai-nilai keimanan yang ada.

Stop budaya instan
Budaya instant merupakan suatu budaya yang memunculkan tindakan negatif, sebab dalam budaya instant yang terjadi justru tidak atau kurang menghargai proses atau bahkan tidak ingin menjalani proses. Budaya instan adalah budaya ingin cepat selesai, tidak harus menunggu lama dan tidak mau ribet. Dampaknya orang akan menjadi malas atau semakin malas.
Bukan hanya kasus Dimas Kanjeng yang menunjukkan betapa masyarakat kental dengan budaya instan. Kasus-kasus seperti Eyang Subur atau Gatot Brajamusti serta fenomena Ponari di Jawa Timur juga telah menunjukkan betapa masyarakat kita lebih dekat dengan budaya ini. Itu yang terungkap di media dan diketahui oleh publik. Selain itu, masih banyak praktik perdukunan atau banyak orang menyebut ”orang pintar” untuk mempersingkat atau bahkan menghilangkan proses guna meraih sesuatu.
Sebenarnya tidak perlu Dimas Kanjeng atau Eyang Subur (yang berbau klenik) untuk menunjukkan betapa masyarakat kita memiliki budaya instan yang kental. Kita bisa lihat kehidupan sosial sehari-hari yang tampak setiap hari. Persoalan antre saja masyarakat kita harus diarahkan. Jika tidak ada yang mengarahkan masih banyak yang ingin menyerobot agar lebih cepat. Hal lain yaitu bagaimana kita berkendara di jalan. Menerobos lampu merah yang semestinya berhenti masih sering terjadi jika tidak ada petugas. Apalagi ketika dini hari tiba, seolah mereka bebas menerobos aturan berlalu lintas.
Dua contoh yang ada di depan mata kita setiap hari masih saja terjadi. Contoh-contoh lain adalah ingin mendapatkan hasil ujian bagus dengan menyontek, ingin kaya dengan korupsi, atau ingin cantik dengan operasi plastik. Budaya instan juga berkaitan erat dengan perkembangan teknologi komunikasi yang saat ini tengah berkembang. Maraknya media sosial ataupun digital media membuat masyarakat akan lebih mudah dan cepat mendapatkan informasi. Bahkan saat ini kemungkinan telah terjadi inflasi informasi.
Semestinya itu mampu menumbuhkan pengetahuan kita jika masyarakat kita bisa memproses banyak informasi yang masuk menjadi sumber pengetahuan kita. Parahnya, masyarakat kita karena lebih cepat dan mudah mendapat informasi langsung membuat kesimpulan, tanpa mau menyaring (memproses) banyaknya informasi tersebut apakah fakta atau fiksi dan benar atau salah.
Apakah hanya dari masyarakat? Kebijakan pemerintah pun pernah justru menumbuhkan budaya instan. Bantuan langsung tunai (BLT), yaitu bantuan dengan memberikan uang tunai juga merupakan bentuk kebijakan instan dari pemerintah yang seolah justru mendorong budaya instan.
Belum lagi pemberian subsidi pada bidang-bidang konsumtif seperti bahan bakar minyak atau listrik bukan pada subsidi pendidikan atau kesehatan. Artinya, cermin budaya instan bukan hanya berasal dari masyarakat, pemerintahan pun setidaknya pernah mendorong adanya budaya instan.
Melihat hal-hal di atas, sepertinya budaya instan adalah hal yang negatif? Tidak sepenuhnya benar juga. Bahwa sisi positif dari budaya instan adalah bersifat efektif dan efisien. Selain itu sisi positif lainnya adalah kita akan dididik untuk menghargai waktu. Hal lain adalah dengan budaya instan artinya diiringi dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan yang akan mempermudah kehidupan manusia.
Sisi negatifnya tentu sebagian sudah dipaparkan di atas. Namun ada hal lain bahwa budaya instan juga bisa memicu sifat malas karena tidak mau proses. Selain itu, sisi temperamental juga bisa muncul karena terkadang hasil yang diinginkan tidak segera terwujud. Budaya instan juga memunculkan karakter yang tidak mempunyai daya juang tinggi karena hanya terpaku pada hasil, bukan pada proses.
Untuk itu, kontrol diri dan kontrol sosial dengan melihat dampak dari sebuah tindakan juga harus disadari oleh semua masyarakat. Kasus Dimas Kanjeng atau yang lain semestinya bukan hanya dipahami soal penggandaan uang, namun bisa menjadi bahan mawas diri untuk kita kontrol diri dan kontrol social supaya kita dan semua masyarakat tidak mudah terpedaya.

Sumber: http://www.malang-post.com/netizen/opini/dimas-kanjeng-dan-cermin-budaya-instan
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler