Narkoba, Hukuman Mati dan Pertaruhan Bangsa

Author : Humas | Senin, 19 Januari 2015 13:03 WIB | Malang Post - Malang Post

Oleh : Atok Miftachul Hudha
Pengajar dan Trainer P2KK
Universitas Muhammadiyah Malang

Eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus kejahatan narkoba, lima di antaranya warga negara asing menjadi sinyal paling bertenaga di awal tahun yang dikirimkan pemerintah kepada para pelaku kejahatan narkoba. Sinyal bahwa saat ini negara ini amat bersungguh-sungguh memerangi narkoba dan tak ingin bermain-main dengan pelakunya, terutama para bandar, produsen, dan pengedar narkoba.
Eksekusi mati pelaku narkoba tanpa ampun termasuk penolakan grasi yang dilakukan oleh presiden Jokowi memperlihatkan sebuah ketegasan dan keseriusan pemerintah di Era Jokowi-JK ini untuk memberantas Perdagangan Narkoba sebagai kejahatan ekstra ordinary crime yang memerlukan penangan hukum secara luar biasa dengan memberlakukan hukuman mati bagi para pengedarnya
Pelaksanaan hukuman mati merupakan puncak dari segala macam bentuk perang terhadap kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan generasi bangsa tersebut. Inilah wujud sikap tegas antinarkoba pemerintah yang mesti kita dukung bulat-bulat demi kelangsungan bangsa ke depan. Jika kita melihat jelujuran jaringan narkoba yang seakan tak pernah putus serta efek jahat yang ditimbulkannya, pemerintah memang tak boleh lemah. Semakin kerap kita mendengar polisi dan Badan Narkotika Nasional menggerebek dan menangkap pemakai, pengedar, dan produsen narkoba, tapi kian deras pula barang haram itu masuk dan menjadikan kita sebagai pasar.

Predikat Darurat Narkoba
Saking parahnya, Indonesia kini bahkan disebut dalam kondisi darurat narkoba. Indonesia betul-betul sudah seperti surga bagi pengedar narkoba. Sedikitnya ada 4,5 juta masyarakat Indonesia menjadi pemakai narkoba. Dari jumlah itu, 1,2 juta sudah tidak bisa direhabilitasi karena kondisinya sudah sangat parah.
Data lain juga menyebutkan 40 sampai 50 orang Indonesia setiap harinya meninggal karena narkoba. Jika datanya seperti itu, keraguan apa lagi yang membuat kita tak berani lantang meneriakkan perang setotal-totalnya terhadap narkoba? Kegamangan mana lagi yang membuat kita canggung bersikap bahwa hukuman mati ialah hukuman yang amat layak untuk gembong dan bandar narkoba?
Soal pelanggaran hak asasi manusia yang kerap dijadikan alasan menolak hukuman mati? Mari kita merujuk ke konstitusi tertinggi negara ini. Dalam UUD 1945, prinsip HAM di Indonesia mengandung kebebasan yang bertanggung jawab. Prinsip itu mengandung makna bahwa dalam kebebasan mengupayakan haknya, setiap orang harus menghormati hak orang lain, termasuk nyawa orang lain. Karena itu, bila ada yang mengambil nyawa atau melakukan kejahatan luar biasa dalam kadar tertentu, mereka pantas dikenai pidana mati.
Dengan menggenggam prinsip itu, kita ingin ingatkan pemerintah supaya tak perlu gentar dengan tekanan dari negara lain atau lembaga internasional yang tak setuju dengan hukuman mati. Pemerintah juga tak mesti menjadi kendur meski Presiden Brasil Dilma Rousseff mengecam keras eksekusi mati terhadap salah satu warganya dan kemudian menarik duta besarnya di Indonesia, Paulo Alberto de Siveira, sebagai bentuk protes.

Konsistensi Pemerintah
Sampai kapan pun pemerintah harus konsisten memandang pelaksanaan hukuman mati terhadap gembong narkoba sebagai salah satu bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi warganya dari ancaman kejahatan narkoba yang sudah teramat membelit dan menggurita. Eksekusi hukuman mati terhadap terpidana narkoba ialah pesan yang terang benderang bahwa negara ini tidak boleh lagi dijadikan 'mainan' para bandar narkoba.
Meskipun realitas tersebut memunculkan polemik antara pihak yang menolak hukuman mati (finalty dead) atas nama hak asasi manusia (HAM), menimbulkan ketidakadilan dan sudah tidak relevan, dengan pihak yang mendukung atas nama efek jera dan progresivitas dalam penegakan hukum yang dibutuhkan di tengah-tengah hukum yang semakin bungkam. Dalam konsep umum hukum, tujuan hukum terbagi atas tiga yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan.
Perkara adil dan tidak adil tentu tidak ada batasan jelas dan bersifat subjektif. Ungkapan umum yang berlaku ialah sumum ius suma in iuria - keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi. Karenanya, hukum tidak boleh berhenti pada keadilan semata, tapi juga harus menjamin kepastian hukum yang terdiri persamaan di depan hukum (equality before the law), serta penegakan hukum memiliki kemanfaatan (dolmatigheid), dampak dan akibat yang harus dirasakan dari penegakan hukum tersebut.
Dengan begitu, tidak salah di Indonesia penyalah gunaan narkoba dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Selain itu, letak geografis Indonesia yang strategis dengan jumlah pemudanya yang luar biasa banyak menjadi ladang subur bagi peredaran narkoba dengan menjadikan mereka incaran gembong narkoba kelas lokal maupun internasional. Karenanya, jika penegakan hukum pada kasus narkoba masih biasa-biasa saja, bukan mustahil peredaran narkoba di negeri ini akan berjalan mulus. Maka ketika hadir wacana hukuman mati terhadap gembong narkoba, sedikit membuka arah progresivitas hukum di Indonesia yang semakin dibutuhkan dan dirindukan dalam kasus narkoba.

Dilema Efek Jera
Atas nama keadilan, tentu hukuman mati sesuatu yang sangat tidak adil. Terlebih jika dilihat dari perspektif HAM, tentu sangat bertentangan. Namun jika melihat dampak dan daya rusak akibat ketergantungan narkoba yang kini mulai memasuki lingkungan dan unsur vital kebangsaan, maka hukuman mati pantas untuk dikedepankan.
Dari sisi kemanfaatan hukum, diharapkan pemberlakuan hukuman mati akan memberi efek jera terhadap gembong narkoba untuk mengedarkan barang haram tersebut di Indonesia. Artinya, hukuman mati dari sisi kemanfaatan hukum sangat sesuai dan dibutuhkan di Indonesia. Namun, penting digarisbawahi adalah kehati-hatian dan ekstra serius penegak hukum dalam melakukan eksekusi mati, sebab hukuman mati tidak bisa ditebus jika di kemudian hari ditemukan novum (bukti baru) tentang ketidakterlibatan seseorang dalam kasus narkoba.
Di negara-negara maju umumnya hukuman mati sudah dihapus karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan HAM. Bahkan Belanda, yang mewariskan hukuman mati di Indonesia, sudah menghapuskannya. Dalam kasus-kasus hukum, umumnya lebih banyak digunakan merenggut kebebasan sementara waktu di dalam penjara sesuai keputusan pengadilan.
Esensinya, hukuman penjara akan memberikan dampak dan efek jera, serta memasyrakatkan laiknya seperti masyarakat biasanya. Tidak bisa dipungkiri, mengemukanya wacana hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba di Indonesia yang merupakan gembong, akibat kebuntuan efek jera dari penjara di Indonesia. Nyatanya, para kurir atau gembong narkoba masih bisa mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi sehingga ketidakpercayaan dan ketidakmampuan penjara untuk memberikan efek jera menguatkan dorongan diterapkannya hukuman mati.
Hukuman mati hendaknya ditempatkan pada pilihan terakhir, pilihan paling sulit untuk dikeluarkan melalui pemikiran dan dasar hukum yang kuat. Untuk lebih memberikan efek jera, tidak serta-merta harus menjadikan hukuman mati sebagai kebijakan satu-satunya. Perlu juga dilakukan evaluasi dan pembenahan sistem terhadap lembaga pemasyarakatan atau penjara agar benar-benar bisa memberikan hukuman penjara terhadap terpidana. Hal ini harus kembali dipikirkan dan dikaji.

Sumber: http://www.malang-post.com/serba-serbi/redaktur-tamu/97712-narkoba-hukuman-mati-dan-pertaruhan-bangsa
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler