MALANG- Mahasiswa Australian Consortium for In-country Indonesia Studies (Acicis) yang sedang studi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Katrina Wallis, tertarik meneliti dunia pesantren. Sebagai salah satu tugasnya dalam program ini, ia melakukan penelitian di Pondok Pesantren An-Nur 2 Bululawang dan Ar-Rifa’i Gondang Legi. Ia bahkan sempat ikut “nyantri” di dua pesantren di kabupaten Malang itu selama dua minggu.
“Saya terlibat banyak kegiatan bersama para santri. Satu kamar kami tidur dengan 70-an orang, dengan ventilasi yang sangat minim,” kata Katrin yang kemarin memaparkan penelitiannya dengan menggunakan busana muslim lengkap.
Ia mengaku ikut menyesuaikan pakaiannya dengan berbusana muslim selama di pesantren. Ketertarikan Katrin meneliti pesantren didasarkan pada pertanyaan besar tentang bagaimana pesantren mempersiapkan santrinya menghadapi arus deras modernisasi.
“Saya menelusuri bagaimana manajemen pendidikan yang diterapkan, fasilitas, kurikulum pendidikan yang dijadikan pesantren sebagai unggulan menghadapi modernisasi,” ungkap Katrin. Sejumlah santri, ustadz, pengurus pesantren dijadikannya sebagai informan.
Katrin menemukan sejumlah kesimpulan menarik. Kedua pesantren sepakat bahwa modernisasi harus dihadapi dengan memberi modal santri dengan pengetahuan agama yang kuat. Namun di sisi lain, santri juga dibekali dengan penguasaan teknologi, baik melalui kurikulum maupun fasilitas.
“Di kedua pesantren diajarkan keterampilan komputer, mempelajari Quran secara online, bahkan di Ar-Rifa’i santri diperbolehkan membawa laptop,” lanjut mahasiswa semester akhir di Flinders University Adelaide Australia ini.
Uniknya, meski telah dikenalkan dengan teknologi informasi dan memiliki website dan blog yang cukup menarik, kesetaraan gender yang merupakan bagian dari kurikulum modern belum diterapkan.
“Santrinya perempuan, tetapi yang mengajar tetap didominasi laki-laki, tidak ada guru perempuan atau ustadzah,” kata Katrin menyayangkan. Padahal guru perempuan bisa menjadi model bagaimana seharusnya perempuan berperan dalam sektor publik.
Pembimbing Katrin, Widiya Yutanti, MA, menilai penelitian Katrin cukup berhasil. Wawancara dengan informan berlangsung terbuka karena Katrin berhasil menyelami informan dengan terlibat di dalam pesantren.
“Dunia pesantren memang unik. Sebagai alumni pesantren, saya bisa merasakan bagaimana tuntutan menghadapi dunia luar. Orang tua menyekolahkan saya ke pesantren justru karena mereka merasa tidak cukup punya waktu dan kemampuan untuk mendidik saya menghadapi modernisasi itu,” ungkap Widiya yang juga koordinator Acicis UMM.
Selain Katrin, ada enam lagi mahasiswa Acicis asal Australia dan dua asal Amerika Serikat yang mempresentasikan hasil risetnya. (oci/fia)