Membaca Spirit Kepemimpinan Prabowo Subianto

Author : Humas | Kamis, 08 Juni 2023 06:11 WIB | Malut Post - Malut Post

Oleh: Muhammad Kamarullah
(Lulusan FISIP, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM))

Fenomena testing the water menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 sudah sangat terasa. Hal ini ditandai dengan rilis hasil survei terkait elektabilitas publik figur masuk dalam bursa pencapresan yang kian menjadi diskursus publik.  Berkelindan dengan itu, diantaranya telah, dan nampak akan segera diumumkan oleh parpol sebagai kandidat capres. Dari sekian nama, salah satu kandidat yang digadang-gadang akan maju bertarung pada Pilpres 2024 mendatang adalah Prabowo Subianto. Tulisan ini semata hendak mengulas sisi kepemimpinan Prabowo.

Majunya Prabowo sebagai capres mendatang ialah kali ketiganya dalam perhelatan akbar Pilpres. Tentu ini merupakan keputusan yang agaknya tidak mudah nan nekat dalam pandangan awam. Di sisi lain, kesiapan majunya Prabowo menunjukkan nasionalisme, militansi, semangat juang, keberanian, dan kerelaan sosok Prabowo dalam mengabdi untuk Tanah Air. Pandangan ini bukan tanpa dasar yang mana berangkat dari sifat keprajuritan patriotik seorang mantan Purnawirawan.

Oleh sebab itu, agaknya tidak bisa menggunakan variabel pragmatism politik dalam menilai pilihan Prabowo untuk maju sebagai capres 2024. Sebab naif rasanya jika majunya Prabowo diasumsikan hanya karena dorongan sejumlah kelompok elit maupun egoisme politik sosok Prabowo. Akan tetapi, pilihan ini merupakan tampilan sikap kenegarawanan dan rasa kecintaannya terhadap Tanah Air. Mimpi tentang bangsa Indonesia yang damai, aman, adil, sejahtera, bermartabat atau gemah ripah loh jinawi, baldatun toyibatun warabun ghafur.

Tantangan Gejolak Internasional
Apalagi dewasa ini realitas politik global sedang mengalami resistensi dan benturan keras yang semakin mengkhawatirkan. Negara-negara superpower terus menunjukkan praktik aksi-reaksi, provokasi, dan hasutan. Sebelumnya dunia dihadapkan dengan masalah wabah pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian hampir seluruh negara di dunia. Kini masalah itu kembali diperparah dengan berbagai konflik serta ketegangan berdimensi militer antara negara-negara bergelar superpower.

Lihat saja, belum usai gejolak Rusia-Ukraina yang tak lepas dari dua kekuatan adidaya yakni, AS dan China. Ketegangan kembali terjadi antara China-Taiwan akibat kunjungan nekat Nancy Pelosi ke Taipei. Menyusul meletupnya ledakan di Jalur Gaza, hingga problem politik di Myanmar yang tak kunjung menunjukkan angin segarnya.

Bahkan beberapa waktu lalu, para negara adidaya ini kian bersitegang di Asia Timur. Mendadak Rusia, China, dan India menggelar latihan militer gabungan yang dijadwalkan pada 1-7 September. Sementara AS dan Korsel juga mengadakan Latihan militer gabungan yang dimulai pada 31 Agustus. Para negara adidaya semacam “saling pamer” peralatan senjata tempur mulai dari personel militer, jet tempur, artileri berat hingga tank.

Konflik maupun gesekan berdimensi militer yang semakin tak terkendalikan ini barang tentu akan memicu petaka besar. John J. Mearsheimer dalam artikelnya “Playing with Fire in Ukraine” di majalah Foreign Affairs (17/08) menjelaskan bahwa situasi sekarang sudah berbeda. Kedua kubu, baik Rusia dan Ukraina beserta sekutunya sama-sama berkeinginan kuat untuk memenangkan konflik. Bahkan jika dicermati, berbagai cara akan terus digunakan, tidak terkecuali mengerahkan kekuatan nuklir.

Di sisi lain, problem ekonomi global yang terus memperparah level domestic negara-negara berstatus sebagai negara berkembang. Dimana saat ini telah terjadi krisis secara simultan. Terjadi krisis pangan, ledakan wabah, stagflasi, hingga krisis utang. Mengejutkan lagi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan gelombang baru ketidakpastian akan mengancam krisis utang negara berkembang.

Peringatan IMF telah menjadi fakta. Sri Lanka pada Juli telah mengumumkan kebangkrutannya. Sementara negara-negara seperti Lebanon, Suriname, dan Zambia telah berada dalam status gagal bayar. Menyusul El Salvador, Ghana, Mesir, Tunisia, dan Pakistan dalam risiko besar gagal bayar.

Proyeksi Kepemimpinan
Berangkat dari kompleksitas konflik militer dan gonjang-ganjing perekonomian global semacam ini tentu harus diwaspadai. Jangan sampai situasi ini berdampak meluas apalagi merambah ke Indonesia. Utamanya oleh pemimpin bangsa. Dalam konteks inilah, kepemimpinan nasional Indonesia menjadi pertaruhan di tahun-tahun mendatang.

Sebab harus diakui, kunci keberhasilan suatu negara untuk keluar dari prahara konflik serta mampu menyelamatkan bangsa terletak pada sang pemimpin. Selain dari mendapat dukungan kuat dari rakyat, jika pemimpinnya lemah, tak siap menghadapi situasi genting, miskalkulasi, takut mengambil keputusan, maka kemungkinan bangsa ini akan hancur. Mengutip sebuah adagium kepemimpinan militer bahwa seribu harimau jika dipimpin oleh kambing akan embeeek semua.
Model kepemimpinan di atas lekat kaitannya dengan sosok Prabowo.

Hal ini tercatat dalam memoar “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto (2021)” menjelaskan karakter kepemimpinan militer Prabowo ditekankan pada keberanian, kepribadian baik yang menonjol, kesetiaan, kemampuan profesional, semangat, kehadiran pada momentum yang tepat, visi, kreativitas, tanggung jawab, serta kesiapan dalam menghadapi situasi terburuk. Prabowo merupakan pemimpin yang mampu mengkombinasikan antara the man of action dan the man of intellect.

Menariknya lagi, sosok Prabowo tak pernah lupa dengan sepak terjang sejarah para pemimpin bangsa. Yang selalu menjadi referensi kepemimpinannya. Ia memahami betul kejayaan bangsa-bangsa pra kemerdekaan Indonesia yang berhasil mempertahankan kekuasaannya kala itu, seperti Sriwijaya, Gowa, Mataram, Majapahit dan sebagainya. Bagaimana kecerdasan strategi perang sang pemimpin seperti Raden Wijaya yang mampu menaklukkan invasi pasukan Mongol. Hingga Soekarno yang dianggap sebagai intelektual, orator, organisator, dan ksatria bagi bangsa ini yang patut dicontohi.

Sebagai seorang berlatar belakang mantan Purnawirawan TNI, kepemimpinan Prabowo juga selalu diarahkan memikirkan keselamatan prajurit, anak buah, dan kesatuan. Tidak terkecuali masalah amunisi persenjataan, makanan minuman, serta kecakapan intelektual. Persis dengan doktrin sebelas asas kepemimpinan TNI yang selama ini dipegang oleh Prabowo. Yakni taqwa, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wisesa, ambeg parama arta, prasaja, satya, gemi nastiti, belaka dan legawa.

Dalam sebuah pepatah kuno Belanda “Leiden is lijden” yang artinya memimpin adalah menderita. Kutipan yang tampak sebagai standar ideal dan menjadi konsekuensi logis seorang pemimpin pantas saja disematkan pada sosok Prabowo. Tentu bagi sebagian kalangan, kalimat ini kedengaran hiperbolis. Tapi begitulah karakter prajurit yang terlatih menderita di medan juang atas nama Merah Putih. Persis dengan narasi yang sering digaungkan Prabowo dalam setiap pidato dan orasi ilmiah yaitu, “Pertahankan Merah Putih sampai titik darah penghabisan”.

Dengan demikian dalam hemat pandangan saya, kepemimpinan Prabowo sebagaimana diuraikan di atas menjadi urgensi kepemimpinan Indonesia masa depan. Bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas dan seni kepemimpinan yang mampu menjadikan Indonesia disegani dalam pergaulan komunitas internasional. Yang semua itu sejatinya berpijak pada amanat UUD 1945 dan Pancasila. Dan akan berujung pada terakomodirnya kepentingan nasional (national interest).(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Rabu 07 Juni 2023.

Sumber: malutpost.id/2023/06/08/membaca-spirit-kepemimpinan-prabowo-subianto/2/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori