Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri/istimewa.
Malang: Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yana Syafriyana Hijri, menanggapi isu pemekaran Papua yang tengah menjadi perbincangan publik. Isu pemekaran Papua sudah ada sejak kepemimpinan Presidan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Namun, isu ini kembali mencuat setelah DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Daerah Otomi Baru di Papua, pada akhir Juni lalu, dalam rapat paripurna. Yana mengatakan ada tiga provinsi baru di Papua, yaitu Provinsi Papua Selatan dengan Ibu Kota Kabupaten Merauke, dan Provinsi Papua Tengah dengan Ibu Kota Kabupaten Nabire.
Terakhir, Provinsi Papua Pegunungan dengan ibu kota di Kabupaten Jaya Wijaya. Adapun dasar pemekaran provinsi ini, yakni untuk pemerataan pembangunan dan juga mendekatkan layanan publik bagi masyarakat.
“Tentu yang menjadi dasar pemekaran daerah sejak dulu adalah pemerataan pembangunan dan pendekatan layanan publik," kata Yana, Kamis, 7 Juli 2022.
Meski begitu, ia menuturkan adanya pemekaran daerah tidak menjamin pembangunan yang merata dan kesejahteraan masyrakat. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kabupaten di Papua yang merupakan hasil pemekaran pada 2002 dan 2008.
Mayoritas kabupaten itu justru masuk di daftar daerah miskin pada 2020. Salah satu contohnya, yaitu Kabupaten Deiyai yang memiliki persentase 41 persen masyarakat miskin dari total penduduk setempat.
“Aspek yang membuat pemekaran tidak maksimal adalah sumber daya manusia (SDM) yang minim. Jika SDM yang ada tidak memadai, tentu pengelolaan pemerintahan daerah pemekaran akan tidak berjalan dengan semestinya. Bahkan malah akan mengarah pada indikasi korupsi. Di samping itu juga kurangnya persiapan dari pemerintah akan daerah pemerakan,” ujar dia.
Terkait proses pemekaran, Yana menjelaskan sebelum 2004, secara administratif harus melalui Kementerian Dalam negeri (Kemendagri). Persyaratan yang perlu disiapkan juga beragam serta peninjauan yang cukup pelik. Hal itu membuat pengajuan pemekaran daerah hanya sedikit.
Setelah 2004, proses pengajuan pembentukan daerah otonomi baru bisa melalui DPR RI. Menurutnya, hal ini memang memudahkan namun cenderung lebih politis.
“Namun, saya rasa hal ini cenderung lebih politis. Apalagi melihat sikap para pejabat kita saat ini,” tutur dia.
Dosen asli Serang, Banten, ini berharap pemerintah pusat harus betul-betul memikirkan pemekaran agar tidak seperti sebelumnya yang justru mengalami kemunduran. Di samping itu, pemerintah harus benar-benar menyiapkan aspek SDM guna keberlangsungan provinsi baru yang bisa lebih berkembang.
“Dengan begitu, masyarakat bisa benar-benar merasa sejahtera. Pun dengan pelayanan publik yang semakin baik. Maka dari itu, pemerintah pusat harus melakukan pendampingan sehinga daerah pemekaran bisa mengembangkan potensi yang ada,” ungkap dia.