RBC Institut A. Malik Fadjar, sebuah platfrom gerakan komunitas berbasiskan literasi di Malang, menggelar diskusi bertajuk Kepemimpinan Kaum Muda dan Populisme Islam di Indonesia, bertempat di RBC Learning Space, Malang pada Rabu (19/11) pekan lalu.
Diskusi ini melibatkan tiga narasumber pakar, yaitu Subhan Setowara, Dimas Oky Nugroho dan M. Khoirul Muttaqin.
Populisme Islam tengah muncul di Indonesia dalam dua dekade terakhir, yang salah satunya ditandai dengan semakin masifnya simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Selain itu, kemunculan Habib Rizieq Shihab dan para tokoh agama yang turut serta dalam Aksi Bela Islam (ABI) beberapa tahun lalu, juga menjadi penanda bagi semarak populisme Islam di negeri ini.
Kehadiran mereka ikut menginterupsi otoritas keagamaan para tokoh agama yang punya afiliasi dengan organisasi Islam mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), sehingga gerakan ini membuat fragmentasi baru dalam arus pergerakan keislaman di Tanah Air.
Fokus diskusi tersebut ingin melihat posisi kepemimpian kaum muda di tengah arus populisme Islam yang berkembang belakangan ini. Apakah kaum muda merasa beruntung dengan arus ini atau justru sebaliknya. Menurut Direktur Eksekutif RBC Institut A. Malik Fadjar, Subhan Setowara, dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, populisme pastilah muncul. Jika demokrasi adalah suara rakyat, maka populisme justru bergerak atas nama suara rakyat.
Dia menambahkan, antara populisme dan algoritma telah terjadi perkawinan. Ketika kaum muda bersosial media dan terjebak pada salah satu arus, maka seterusnya ia akan terjebak pada populisme dalam media sosial. “Untuk itu, dalam menanggapi wacana populisme, kaum muda harus kritis,” tandas Subhan.
Di kesempatan yang sama, Founder Kader Bangsa Fellowship Program, Dimas Oky Nugroho, mengatakan, ketika berbicara tentang populisme Islam di Indonesia, justru yang terjadi gerakan ini selalu mengalami kegagalan.
Menurut Dimas, kegagalan tersebut karena yang dibayangkan bukan people tapi ummah. Kemudian, imajinasi ummah tersebut selalu terbentur dengan realitas sosial ekonomi. Dan itu justru melahirkan kesenjangan.
Selain imajinasi ummah, populisme Islam juga kental dengan politisasi isu-isu agama untuk kepentingan dan pertarungan pada tataran elit. Lalu kemudian isu ini dibuat sedemikian rupa bagi kalangan grassroot.
Sementara itu, aktivis muda Muhammadiyah M. Koirul juga menjelaskan bahwa kegagalan populisme Islam di Indonesia karena populisme Islam selalu diwakili oleh pemimpin yang berdosa secara politik dan secara sejarah. Berangkat dari hal ini, populisme menjadi tidak bertahan lama. Karena yang menjadi penokohan dalam populisme tidak cukup teladan untuk diikuti. Justru membuka celah dan ruang untuk di-bully.
Ini dibuktikan dengan penolakan kaum muda pada populisme Islam yang dipimpin oleh Habib Rizieq akhir-akhir ini.
“Pada akhirnya, ruang-ruang ini harus diisi dan digantikan oleh kaum muda yang belum mempunyai dosa sejarah. Dan, tentunya, calon pemimpin muda ke depannya harus memiliki nalar kritis untuk menghadapi segala wacana, termasuk wacana populisme,” imbuh Khoirul. (can)