MALANG, Mediasuarapublik – Pemilihan umum (Pemilu) 2024 sebentar lagi tiba. Banyak isu menarik yang bisa dibahas, termasuk dibolehkannya mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg). Baik di di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Hal itu menarik perhatian dosen dan ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr. Catur Wido Haruni, S.H., M.Si., M.Hum. Ia menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan aturannya. Menurutnya yang salah adalah mereka yang membuat aturannya.
“Tentunya banyak mantan narapidana kasus korupsi yang ingin kembali berkecimpung di dunia politik. Kemudian dengan banyak siasat lahirlah peraturan ini karena kepentingan-kepentingan politik,” ujarnya.
Lebih lanjut, para narapidana kasus korupsi ini dapat mendaftar sebagai caleg sebab pada Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2017 Pasal 240 (1) huruf G tentang Pemilihan Umum (Pemilu) disebutkan, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar.
Pada poin ini dijelaskan bahwa calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.
“Berarti, walaupun sudah lebih dari lima tahun penjara, jika ia mengatakan secara terbuka bahwa ia merupakan mantan terpidana ataupun koruptor, maka ia tetap memenuhi syarat untuk mendaftar sebagai caleg,” paparnya.
Lalu jika melihat UUD 1945 Pasal 28J (1), dikatakan bahwa kita harus menghormati hak asasi orang lain. Namun pada Pasal 28J (2) dijelaskan pula, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
“Walaupun semua orang memiliki hak dan kebebasan dalam berpolitik, tapi tidak semua orang masuk ke dalam kriteria tersebut. Jadi memang ada batasannya, termasuk kriteria pendaftar caleg ini,” jelas Catur.
Catur mengatakan, pasal 240 ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Lalu lahirlah putusan MK yang menyatakan bahwa mantan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri dengan syarat, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasakan putusan pengadilan. Lalu secara jujur atau terbuka, mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
“Tapi semua kembali kepada para pemilihnya atau rakyat, karena kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Maka dari itu, rakyat pun harus cerdas. Jangan memilih hanya karena fanatik terhadap partai. Lihatlah track record dari calon pemimpin yang ingin dipilih. Karena kedaulatan tertinggi ada d itangan rakyat, maka rakyat harusnya bisa memilih pemimpin yang baik dan berintegritas. Jika rakyat cerdas, maka para narapidana korupsi ini tidak akan terpilih,” tegasnya mengakhiri. [Yud/Red]