Khalda Dhiya’ Mahabbah, Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang
MEMOX.CO.ID – Laut China selatan adalah suatu wilayah maritim yang sampai saat ini masih di sengketakan oleh beberapa negara. Secara geografis, Laut China Selatan ini saling tumpang tindih dengan beberapa negara anggota ASEAN. Negara anggota ASEAN tersebut antara lain Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Kemudian sengketa Laut China Selatan ini juga berbatasan langsung dengan China dan Taiwan tentunya. Wilayah Laut China Selatan terus menerus disengketakan karena beberapa hal. Salah satu alasannya karena wilayahnya yang sangat strategis dan mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Upaya untuk menyelesaikan permasalahan sengketa Laut China selatan ini sudah ditempuh melalui berbagai macam cara. Mulai dari PBB ikut turun tangan dalam menyelesaikan kasus Laut China Selatan dan keikutsertaan ASEAN sebagai organisasi regional kawasan Asia Tenggara untuk membantu negara Asia Tenggara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Timbulnya sengketa Laut China Selatan ini tidak bisa lepas dari latar belakang historis yang ada. Latar belakang dari segi historis ini dimulai sejak Perang Dunia II. Awal mula permasalahan Laut China Selatan ini muncul ketika China menggambarkan peta wilayah Laut China Selatan di tahun 1947, yang mana penggambaran dari wilayah Laut China Selatan ini mencangkup seluruh wilayah perairan LCS. Dimana hal ini tentunya bertentangan dengan Perjanjian San Fransisco di tahun 1951. Permasalahan Laut China Selatan ini merujuk kepada “Sembilan Garis Putus-Putus” yang berada di luar batasan pulau di sekitar Laut China Selatan. Namun fakta unik mengenai istilah “Sembilan Garis Putus-Putus” hanya digunakan oleh publik internasional saja. Sedangkan di dalam negerinya, yaitu China, menyebut istilah “Sembilan Garis Putus-Putus” ini menjadi “Sebelas Garis Putus-Putus.”
Dengan adanya permasalahan rumit Laut China Selatan yang seperti ini, tentunya bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan “Sembilan Garis Putus-Putus” akan mengalami konflik wilayah dan selalu bersitegang dengan negara China. Tak terkecuali dengan negara Filipina yang memiliki masalah dengan China akibat Laut China Selatan. Pada tahun 2013, Filipina secara resmi mengajukan masalah Laut China Selatan kepada Mahkamah Arbitrase UNCLOS di Den Haag, Belanda. Pengajuan sengketa LCS oleh Filipina disebabkan China melakukan reklamasi pulau buatan dan menangkap ikan di sekitar laut Filipina. Selain itu, menurut Filipina, aksi China ini melanggar ketentuan hukum internasional dan tidak sesuai dengan kedaulatan wilayah Filipina. Untuk pengabulan kasus LCS yang diajukan oleh Filipina sendiri memakan waktu sampai 3 tahun. Kasus yang diajukan oleh Filipina ini akhirnya resmi di kabulkan dan di proses pada tanggal 12 Juli 2016. Adapun hasil putusan dari Mahkamah Arbitrase adalah menyatakan bahwa klaim China atas LCS dari segi historis adalah tidak mendasar. Dan aktivitas yang dilakukan oleh kapal patroli China dinilai membahayakan para nelayan dan bisa merusak terumbu karang yang ada di LCS.
Kondisi yang seperti ini akhirnya bisa mengganggu kawasan Asia Tenggara dan memicu ketegangan hubungan antara Filipina dan China. Di tahun 2023, pihak dari Filipina mengungkapkan fakta bahwa ada salah satu kapal patroli dari Tiongkok yang menembakkan laser militer kepada kapal patroli Filipina. Dan peristiwa penembakan laser militer ini terjadi di kawasan ZEE Filipina. Dimana hal ini melanggar hak kedaulatan dari ZEE Filipina dan menyebabkan hubungan Filipina-China kembali bersitegang. Dari peristiwa penembakan laser militer oleh kapal patroli Tiongkok kepada kapal patroli Filipina, akhirnya kedua negara ini membuka pertemuan untuk menyelesaikan sengketa LCS dan meluruskan terkait penembakan laser militer.
Pertemuan ini dibuka dengan mengutip kesepakatan dari presiden China Xi Jinping dan presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr, dimana pada awal Januari 2023 baru saja melaksanakan kunjungan ke China. Dari pihak Filipina, diwakili oleh wakil Kemenlu Thereza Lazaro dan China juga diwakili oleh wakil Kemenlu Sun Weidong. Adapun hasil dari pertemuan ini belum mendapatkan solusi yang terbaik. Namun langkah ini merupakan diplomasi antara Filipina-China untuk menyelesaikan sengketa LCS dan meluruskan terkait penembakan laser militer dengan damai. Hasil dari diplomasi ini adalah meningkatkan perekonomian dan aspek lainnya. Walaupun hal ini bisa dibicarakan dengan baik, namun sengketa LCS dinilai sangat membahayakan bagi keamanan kawasan Asia Tenggara, sebab tidak hanya Filipina saja yang mempermasalahkan LCS, namun ada beberapa negara anggota ASEAN yang ikut terlibat. Bahkan Indonesia pun juga ikut terseret ke dalam sengketa LCS akibat masalah yang terjadi di Kepulauan Natuna pada tahun 2019. Dimana pada waktu itu ada kapal patroli dari China memasuki wilayah Natuna.