Modernis.co, Malang – Selain isu internasional, isu-isu domestik juga merupakan aspek yang tidak boleh dilupakan oleh seluruh mahasiswa dan mahasiswi program studi Hubungan Internasional (HI) di Indonesia, terutama ketika berbicara mengenai multikulturalisme di negeri ini. Hal itu dijelaskan oleh M. Syaprin Zahidi, S.IP., M.A., salah seorang dosen program studi HI Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Melalui kelas Multikulturalisme di Asia, sebuah kelas hasil kolaborasi Prodi HI UMM dengan Eurasia Foundation, mahasiswa diajak untuk mengeksplorasi isu-isu yang dihadapi Indonesia dalam merekatkan masyarakat yang multikultural. Mulai dari pembangunan yang tidak merata, perkembangan kurikulum pendidikan, hingga peranan media dalam memberikan tayangan yang nantinya akan dikonsumsi oleh anak muda.
“Jika ditilik secara historis, hambatan perkembangan multikulturalisme Indonesia akan membuka luka lama. Eksistensi kebinekaan cenderung dipudarkan di era Presiden Soeharto, ditambah dengan pembangunan yang cenderung berpusat di Pulau Jawa. Tentu hal ini menjadi ‘kotak Pandora’ bagi Indonesia,” urai Syaprin.
Pemerintah Indonesia juga sedang berupaya untuk menemukan formula yang tepat untuk mengentaskan masalah pendidikan. “Negara-negara yang homogen saja perlu trial and error untuk mencari kurikulum yang tepat untuk pendidikan, apalagi negara yang multikultural seperti Indonesia,” pungkasnya.
Di lain sisi, terdapat berbagai tantangan yang dihadapi oleh generasi penerus bangsa. Tayangan-tayangan televisi yang didominasi oleh konten yang tidak mendidik cenderung berdampak negatif pada pembentukan karakter anak muda. Tayangan-tayangan layaknya gosip juga memicu sifat provokatif yang nantinya akan berpengaruh terhadap psikis generasi muda.
“Media memiliki andil besar dalam menyebarkan perspektif-perspektif baru yang akan diterima oleh generasi muda. Muatan konten media saat ini harus bertransisi yang awalnya diisi oleh tayangan gosip, menjadi media yang edukatif, informatif, dan tidak provokatif,” tegas Syaprin.
Banyaknya masalah yang menerpa Indonesia bukan berarti menjadi jalan buntu dalam menuju persatuan dan kesatuan. Kolaborasi pemangku wewenang dan masyarakat dalam mengupayakan resolusi konflik merupakan jalan tengah dalam mengintegrasikan masyarakat yang multikultural. Sikap toleransi dan saling menghargai ialah kunci untuk menjaga persatuan negeri ini. (ACS)