Dukun dan Politik

Author : Humas | Rabu, 27 November 2013 10:59 WIB | Okezone - Okezone

Jika ada yang berubah di negeri ini, itu tampak dalam alam pikiran politisi kita tentang politik. Di saat hiruk pikuk politik menjelang 2014 yang semrawutan dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang simpang siur, gelagat politik tanah air diramaikan oleh munculnya fenomena “dukun politik”. Di saat dunia sedang sibuk menggagas kemajuan ekonomi, teknologi, dan informasi digital, para politisi kita justru tengah sibuk mencari jalan pintas untuk memenangkan pemilu 2014 melalui dukun dan paranormal.

Tampaknya agak sulit untuk membenarkan  fenomena ini melalui kategorisasi teori politik—apa lagi dengan metode-metode ilmiyah. Namun itu adalah nyata, fakta, tidak dapat dibantah lagi. Banyak politisi mendatangi dukun untuk menang dalam pemilu. Sungguh sikap yang kontradiksi, ketika kebanyakan orang berbicara tentang kemajuan teknologi, politisi kita mengulang abad pertengahan ketika mistik dan mitologi menjadi corak berpikir manusia.
 
Kita masih ingat kejadian awal 2013 lalu, ketika anggota DPR melakukan studi banding ke Eropa perihal undang-undang santet. Banyak kalangan menentang agenda tour dan jalan-jalan DPR yang dibungkus atas nama “studi banding” itu. Itu hanya akal-akalan untuk mengahabiskan anggaran negara belaka. Sekarang, rakyat bertanya, mana rancangan undang-undang santet itu? Apakah praktek perdukunan dan santet di negeri ini sudah terselesaikan?
 
Percaya atau tidak, kemampuan dukun dan santet itu benar adanya. Meskipun sulit dibuktikan secara empiris. Persoalannya, bagaimana memahaminya dalam realitas politik. Bukankah politik adalah permainan logika yang memerlukan penalaran dan akal sehat? Di beberapa negara di Afrika dan Kanada, problem santet dalam politik hanya menjadi perdebatan problematik hukum. Sehingga terlalu sulit untuk menentukan aspek dukun ataupun santet secara materiil. Hal ini menyangkut bagaimana merumuskan unsur (elementen) hukumnya, maupun bagian yang menentukan (bestanddelen) sehingga praktek perdukununan dapat dipidanakan.

Ketika kran kontestasi politik terbuka lebar, maka berbagai bentuk kemungkinan bisa ada didalamnya. Termasuk praktek perdukunan. Inilah yang sedang digeluti oleh Mbah Gayatri, salah seoarang dukun politik yang mengaku banyak didatangi oleh sejumlah politisi, calon bupati, gubernur, dan pengusaha. Dengan mengeluarkan sejumlah mantra-mantra Mbah Gayatri kemudian meminta kepada kliennya untuk melakukan sejumlah ritual dan sesaji. Selain Gayatri, Mbah Bowo juga menjadi incaran politisi menjelang 2014 untuk meminta saran dan mantra-mantranya. Tentu saja tahun ini akan menjadi tahun keberuntungan bagi dukun politik, mengingat banyaknya politisi memiliki tidak memiliki kapabilitas untuk memikat massa secara langsung.

Dalam literatur ilmu politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Clifford Geertz (1981), masyarakat Jawa memiliki kepercayaan pada dukun untuk menyembuhkan berbagai penyakit, menolak balaq (bencana) dan berbagai urusan. Tercatat beragam jenis dukun, mulai dari dukun beranak (dukun bayi) sampai dengan dukun tiban (orang yang kerasukan jin yang memiliki kemampuan supranatural). Berbagai jenis dukun itu dapat dilakukan oleh laki-laki ataupun perempuan. Namun, laki-laki tidak dapat menjadi dukun beranak, sebab itu adalah spesialis perempuan. Hanya saja Geertz tidak menyebutkan jenis dukun yang menangani persoalan politik.

Meskipun demikian, menurut Geertz, kepercayaan kepada dukun telah mempengaruhi budaya politik masyarakat Jawa. Kepercayaan kepada dukun juga sekaligus menjadi kategorisasi bagi Geertz untuk memetakan “Agama Jawa” menjadi tiga varian: abangan, santri, dan priyayi. Kini, dukun telah “naik pangkat” menjadi konsultan politik bagi sejumlah politisi. Namanya bisa beragam: guru spritual, panasehat politik, guru politik, dan seterusnya—namun mereka adalah isyarat bagi politisi untuk meyakinkan diri dalam kompetisi politik.

Zaman gendeng, politisi edan

Dalam era yang serba bisa seperti sekarang, apapun bisa terjadi. Mulai dari artis yang mendadak jadi calon anggota legislatif (caleg), sampai kepada dukun yang mau menjadi presiden. Di negeri ini apapun bisa dilakukan, selama ada kemampuan. Zaman ini telah membuat mata normal silau dan hanya mampu melihat kekaburan-kekaburan. Nampak tidak jelas, hanya bayangan semu yang menampakkan kekaburan makna eksistensialnya.

Di zaman gendeng seperti sekarang, sangat sulit untuk membedakan mana dukun mana politisi. Keduanya memberikan keyakinan dan harapan lebih baik kepada kliennya. Mereka juga sering menakut-nakuti kliennya (baca: rakyat) akan kualat atau miskin jika tidak mengikuti perintahnya. Maka, atas nama janji, kemajuan, dan peradaban, politisi kita pandai meramal tentang kemajuan dan pembangunan. Ya, di era ini sulit sekali membedakan antara dukun pada politisi.

Para politisi kita juga sering muncul seperti pemikir yang handal. Mengungkapkan segudang persoalan berikut dengan cara penyelesaiannya. Kita sulit sekali membedakan apakah mereka berfikir sungguhan atau sedang melamun. Antara ngelamun dan berfikir memang beda tipis. Yang satu membuat orang tampak pintar, yang satu lagi membuat orang gendeng.

“Gangguan Jiwa”

Apakah yang sedang melanda bangsa kita sekarang ini? Jakob Sumardjo menjawabnya dalam sebuah esai “Neurotik Indonesia”.  Menurut Jakob, saat ini Indonesia tengah dilanda neurotik alias gangguan jiwa karena tidak dapat membedakan mana realitas faktual mana realitas rasional, mana kenyataan mana impian, mana pikiran mana perbuatan, mana etika mana dosa. Semua yang tampak berbaur menjadi satu, tanpa ada alternatif untuk membedakannya.  Rakyat tidak dapat mebedakan mana perampok mana politisi, mana pejabat mana penjahat, mana ustad mana penjilat. Semua tampak samar.

Lihat saja, setiap pejabat atau politisi yang tertangkap KPK mengatakan mereka sedang difitnah, dianiaya, atau di rekayasa. Mereka juga tampil di layar televisi dengan wajah tanpa dosa, dan si Akil Muchtar itu mengacungkan kedua jempolnya pada saat di tahan KPK—sungguh tidak masuk benar-benar “gila”. Mereka hendak menunjukkan seakan-akan mereka tidak bersalah. Padahal ujung-ujungnya masuk bui juga.

Di zaman Orde Baru muncul istilah “tujuan mengahalalkan cara”. Ungkapan ini untuk menunjukan kuasa rezim Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Banyak pihak mengutuk rezim ini, karena “menghalalkan segala cara” untuk mewujudkan cita-cita rezim yang otoriter itu. Banyak pihak juga menilai, mental pejabat dan politisi sekarang ini masih mewarisi sikap “tujuan menghalalkan cara” itu. Tidak cukup dengan money politik, suap-menyuap—dukunpun bertindak. Barangkali untuk menyelamatkan bangsa ini, maka kita memperlukan pemimpin yang “setengah gila”.

Menjelang 2014, pilihannya ada ditangan rakyat. Rakyat mau memilih pemimpin sakit jiwa, yang sudah dirasuki mantra dukun sakti, dengan sejumlah akrobatik janji-janji dan kebohongannya, ataukah rakyat akan memilih pemimpin yang “setengah gila” untuk melawan birokrat-birokrat gendeng dan politisi edan itu. Uang dan kekuasaan telah membuat mata menjadi buta. Namun jika kita peka, emas tetaplah emas. Pemimpin sejati memberi solusi, bukan janji!

Anhar Putra Iswanto
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: http://suar.okezone.com/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler