Akibat penyadapan yang dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap beberapa pejabat di Indonesia, pemerintah Indonesia protes. Salah satu bentuk protesnya dengan memanggil pulang Duta Besar Republik Indonesia di Australia untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Tentu ada banyak ragam pendapat berkaitan dengan protes pemerintah Indonesia yang sebenarnya sudah agak terlambat itu.
Sebenarnya, ketegangan Indonesia-Australia sudah lama terjadi. Hanya saja, pemerintah Indonesia masih malu-malu. Sikap diam Indonesia tidak membuat Australia merasa “tidak enak” sama Indonesia, justru malah kian menjadi-jadi. Australia merasa menjadi tetangga yang lebih super dan mendudukkan diri sebagai penguasa setidaknya untuk wilayah Pasifik.
Mau bukti? Sejak bulan November 1995 saja ketegangan sudah mulai dengan kasus Timor Leste sebagai pemicunya. Australia dianggap sering melanggar Zona Ekonomi Ekskusif (ZEE). Konflik Celah Timor dan penangkapan beberapa nelayan Indonesia juga menjadi buktinya. Pada bulan Juli 2008 ada tuduhan yang menyebut bahwa TNI dan polisi mendanai dan mempersenjatai antikemerdekaan yang melakukan aksi anti kemanusiaan di Timor Leste.
Ada pula kasus penyelundupan Narkoba pada Oktober 2004 dengan tersangka Schapelle Leigh Corby di bandara Ngurah Rai, Bali. Ia ketahuan membawa 4,2 kg mariyuana yang kemudian dinovis 20 tahun penjara (2005). Melalui beberapa remisi, presiden memberikan grasi 5 tahun, meskipun memicu kontroversi (2012). Pada tahun 2004 juga rumah kediaman kedutaan Indonesia di Australia disadap, sementara Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak melayangkan protes. Termasuk penangkapan nelayan Indonesia yang berjumlah 272 pada Mei 2005 dengan tuduhan operasi penertiban di ZEE oleh Australia. Banyak rentetan hubungan yang tidak harmonis Indonesia-Australia sampai Indonesia menarik Duta Besarnya dari Australia.
Menguasai-Dikuasai
Kasus penyadapan memang bukan barang baru lagi. Negara manapun yang ingin menguasai atau mendominasi hubungan antarbangsa akan melakukan segala cara. Entah menciptakan ketergantungan dengan utang, dengan bahan pangan, atau politik, termasuk dengan alat telekomunikasi. Sebagai negara tetangga yang berkepentingan, logika Australia dalam hal ini bisa dimaklumi.
Bisa jadi proses penyadapan itu sudah lama dilakukan. Hanya pemerintah Indonesia tidak mengetahui akibat tertinggalnya teknologi komunikasi. Bisa juga tidak mau tahu kalau penyadapan itu sebenarnya nyata terjadi. Atau bahkan pura-pura tidak tahu karena tidak mau ribut dan ribet mengurusinya? Atau presiden baru bertindak karena ternyata kepentingan keluarganya juga ikut tersadap? Banyak interpretasi atas itu semua. Yang jelas, kesadaran soal penyadapan ini sudah agak diantisipasi.
Dalam hal politik internasional, menguasai dan dikuasai itu lumrah terjadi. Indonesia selalu menjadi negara yang dikuasai karena ketergantungan banyak hal. Bisa ketergantungan dalam pedagangan, utang dan politik yang menyebabkan bangsa ini tidak berdaya. Sudah dalam kurun waktu lama bangsa ini memang selalu “membebek” bangsa asing.
Bagaimana Indonesia kalah maju dengan Malaysia saja. Tahun 70-an kita sama dengan Malaysia, yakni sama-sama panen “bom minyak”. Keuntungan minyak di Malaysia digunakan untuk menyekolahkan siswa-siswanya ke luar negeri, sementara di Indonesia (bukan rahasia umum) uangnya banyak dikorupsi. Saat sekarang, Malaysia “panen ilmuwan dan intelektual” kita panen koruptor. Tahun 70-an itu pula masih banyak mahasiswa Malaysia yang kuliah di Indonesia, sekarang kebalikannya, bahkan dalam kuantitas yang tidak seimbang.
Penyadapan memang sebuah tindakan yang tidak terpuji. Pemerintah Australia sendiri jika disadap juga tak mungkin tinggal diam. Masalahnya, bangsa ini telah menjadi bangsa yang nyaris kehilangan kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Sementara itu, masyarakat disibukkan dengan urusan yang berkaitan dengan tingkah laku pejabat yang tidak simpatik. Akibatnya, para pejabat itu sibuk mengurusi bagaimana menangkal tuduhan-tuduhan dari masyarakat tersebut.
Jadilah, mereka sibuk sendiri seperti petinju dalam suatu ring. Para petinju itu tidak peka lagi jika ring itu diawasi bahkan disadap orang di luar ring. Indonesia ibaratkan sebuah ring yang peserta tinjunya para pejabat dengan masyarakat, sementara Australia mengawasi dan menyadap mereka yang bertarung itu. Akhirnya, begitu kita disadap, pemerintah baru bereaksi, itupun agak terlambat.
Pengalihan Opini?
Yang layak dipertanyakan sekarang adalah mengapa baru sekarang pemerintah mengambil tindakan tegas dengan memulangkan Dubes RI di Australia? Apakah karena selama ini ketergantungan, untuk tak menyebutnya takut, pada Australia sangat tinggi? Mengapa Corby yang menyelundupkan narkoba ke Indonesia mendapat Grasi 5 tahun? Berbagai pertanyaan curiga tentu akan terus bermunculan.
Yang perlu dicermati juga adalah jangan sampai hiruk-pikuk kasus penyadapan Australia ini bermuatan politis atau digunakan untuk kepentingan politis. Bangsa ini sudah “kenyang” dengan peristiwa-peristiwa yang dijadikan komoditas politik.
Lebih jelasnya adalah pemberitaan media yang besar-besaran pada kasus penyadapan jangan sampai menutupi kasus-kasus yang selama ini menimpa pemerintah. Dalam teori agende setting media dikatakan; apa yang menjadi agenda media menjadi agenda pembicaraan masyarakat juga. Dengan kata lain, kalau media mengagendakan kasus penyadapan di masyarakat juga akan ribut dengan kasus itu. Apalagi jika kasus penyadapan dengan memulangkan Dubes RI di Australia sengaja dimunculkan sekarang untuk menutupi gejolak politik menjelang Pemilu 2014. Ada banyak interpretasi dan interpretasi bahwa muncul pengalihan isu politik juga tidak salah.
Jika demikian adanya, masyarakat tentu tetap harus waspada dengan kasus-kasus yang lebih substansial menyangkut persoalan dasar bangsa ini. Salah satunya kasus korupsi yang sudah mendarah daging. Memulangkan Dubes RI karena protes kasus penyadapan memang tindakan yang elok, tetapi tetap fokus memberantas korupsi adalah tindakan yang sangat bijaksana.
Nurudin
Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur.
Twitter: @nurudinwriter