Politisi kita semakin jauh dari simpati publik. Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan masyarakat semakin tidak percaya terhadap komitmen moral politisi dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Hanya 37,5 persen publik yang menyatakan masih percaya terhadap komitmen moral politisi untuk menjalankan politik dengan baik dan benar. Sedangkan, 51,5 persen publik tidak percaya terhadap komitmen moral politisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Bagi publik, keberadaan politisi tidak membawa arti positif dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang makmur dan sejahtera, justru politisi membuat negara semakin jauh dari cita-cita luhur bangsa. Tindakan korupsi politisi, misalnya, dari hari ke hari selalu menghiasi pemberitaan media massa. Modus korupsi politisi dilakukan dengan berbagi bentuk.
Korupsi dan janji palsu
Akhir-akhir ini, politisi tampak senang melakukan tindakan korupsi dengan modus pencucian uang. Uang dari hasil korupsi dijadikan dalam bentuk barang seperti rumah mewah, mobil mewah, dan barang-barang mewah lainnya. Yang menyakitkan lagi, adalah uang dari hasil korupsi dijadikan sebagai modal untuk mendapatkan dan memiliki perempuan-perempuan cantik, entah dijadikan sebagai simpanan ataupun sebagai istri.
Perkembangan kasus korupsi di Indonesia dapat dibilang fantastis dan ironis. Pada tahun 2011 Transparansi International Indonesia (TII) menempatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada angka 3,0 (IPK menggunakan angka 0-10. Angka 0 dipersepsikan sangat korup, sedangkan 10 bersih dari korupsi). Tahun 2012 Transparansi International Indonesia (TII) kembali menempatkan IPK Indonesia pada angka 32. Pada tahun 2012 TII menggunakan formula yang berbeda dari tahun 2011. Jika pada metode yang lama (2011), IPK dihitung dengan skor 0-10 (0 dipersepsikan sangat korup, 10 sangat bersih) diubah menjadi 0-100 (0 dipersepsikan sangat korup, 100 sangat bersih) (Salahudin, Okezone.com).
Selain korupsi, prilaku buruk lain politisi adalah senang berjanji kepada rakyat tanpa diikuti tindakan nyata. Banyak politisi yang memberi janji kepada rakyat tanpa bukti nyata yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. “Lidah tak bertulang”, pribahasa ini tampak nyata dalam keseharian politisi-politisi kita. Kenaikan harga BBM Bersubsidi, misalnya, adalah bukti prilaku politisi yang tidak menunjukkan komitmen baik kepada rakyat. Sebelum dipilih oleh rakyat, mereka berjanji sumpah serapa untuk berjuang kepentingan rakyat. Namun, janji ini hanya kata-kata yang menyakitkan. Semua masyarakat melihat proses voting penentuan kebijakan kenaikkan harga BBM. Pada voting itu tampak nyata mayoritas politisi menampakkan prilaku arogansi yang tidak lagi mengingat dan memikirkan janji-janji yang pernah disampaikan kepada rakyat. Mereka merasionalisasikan kenaikkan BBM bersubsidi tanpa mempertimbangkan nasib rakyat yang diwakilinya.
Lahirnya masyarakat golput
Prilaku politisi inilah yang menciptakan antipati publik terhadap mereka (politisi). Fenomena antipati ini tentu membahayakan bagi berlangsungnya demokrasi. Antipati publik terhadap politisi berdampak luas terhadap persoalan-persoalan lain seperti lahirnya golput dan lemahnya legitimasi konstitusional. Golput sangat berbahaya untuk keberlangsungan demokrasi. Manakala golput tercipta secarang langsung demokrasi akan sirna. Politik dan institusi-institusi negara diisi oleh segelintir atau sekelompok orang yang melakukan tindakan tanpa rasa tanggung jawab layaknya dalam negara aristokrasi dan monarki.
Masyarakat dipandang sebagai pelengkap yang tak berarti bagi kehidupan bangsa dan negara. Pada sisi lain, golput secara langsung membiarkan persoalan buruk terus berlangsung sehingga negara bukan lagi sebagai institusi moral seperti yang dipikirkan legenda politik Plato dan Aristoteles. Pada konteks ini, bagi masyarakat, negara adalah institusi yang tak berarti. Masyarakat acuh dengan urusan-urusan politik. Jejak pendapat Kompas tahun 2008, 2011, dan tahun 2012 menunjukkan masyarakat tidak lagi mempercayai pancasila sebagai falsafah bangsa, dan tidak percaya Undang-Undang Dasar 1954 sebagai dasar negara. Artinya, masyarakat tidak lagi percaya kepada negara.
Pada level ini, politisi semakin leluasa melakukan tindakan-tindakan buruk seperti yang dijelaskan di atas. Politisi membuat kebijakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan politiknya, tentunya menguntungkan mereka. Institusi atau lembaga-lembaga negara, bagai boneka yang diatur seenaknya oleh politisi. Proses buruk bernegara seperti ini menciptakan persoalan-persoalan serius berupa kemiskinan, pengangguran, kelaparan, diskriminasi, kriminalitas, terorisme, dan konflik sosial politik vertikal dan horizontal. Persoalan-persoalan tersebut telah tampak nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah persoalan ini terus dibiarkan, jika tidak, siapa yang bertanggungjawab untuk memperbaikinya? Mengingat negara Indonesia menganut sistem demokrasi (negara dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat), maka jawaban atas pertanyaan tersebut adalah rakyatlah yang bertanggungjawab atas persoalan bangsa dan negara. Rakyat memiliki hak dan kewajiban konstitusional untuk membawa bangsa menuju yang lebih baik, bermartabat, dan berdaya saing. Masyarakat dapat memilih politisi yang berkualitas, integritas, dan memiliki moralitas tinggi untuk menjadi pemimpin bangsa. Masyarakat diharapkan mampu memilih politisi minimal seperti yang disebutkan tersebut.
Persoalannya adalah masyarakat sudah terlanjur antipati terhadap politik, tidak lagi percaya kepada politisi, tidak lagi percaya kepada hukum serta tidak percaya kepada falsafah dan konstitusi negara. Faktor yang melatarbelakangi ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik, falsafah, dan konstitusi negara adalah prilaku buruk politisi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Karena itu, hemat saya, untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap politik, hukum, falsafah, dan konstitusi negara dibutuhkan prilaku baik politisi dalam politik dan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada konteks ini dibutuhkan peran aktif masyarakat sipil seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Media Massa, Organisasi Masyarakat, Budayawan, Negarawan, Cendekiawan, dan para Agamawan.
Upaya praktis yang harus dilakukan masyarakat sipil untuk mewujudkan prilaku baik politisi diantaranya menyadarkan masyarakat untuk memberikan sanksi politik kepada politisi.
Perlu sanksi politik politisi
Sanksi politik bagi politisi adalah memberikan hukuman kepada politisi korup, politisi yang tidak berpihak kepada rakyat, dan politisi yang tidak memiliki komitmen untuk menegakkan hukum dengan cara tidak memilihnya kembali untuk menjadi pemimpin bangsa. Masyarakat sipil harus menyadarkan masyarakat untuk tidak memilih politisi busuk dengan cara membangun pemahaman politik masyarakat melalui sosialisasi dan publikasi. Upaya Indonesia Corruption Watch (ICW) mempublikasikan politisi-politisi busuk dipandang sebagai langkah tepat dalam menyadarkan masyarakat dalam memilih politisi sebagai pemimpin bangsa. Selain menyadarkan masyarakat, upaya ICW itu dapat membuat malu politisi untuk tampil dalam politik.
Upaya sosialisasi dan publikasasi seperti ini harus didukung oleh semua pihak terutama masyarakat sipil yang disebutkan di atas. Media massa harus mendukung upaya sosialisasi dan publikasi dengan cara obyektif, kritis, dan profesional. Ormas harus memiliki program kerja yang mengarah pada penyadaran politik masyarakat. Para akademisi harus lebih giat melakukan kajian dan penelitian untuk membangun pemahaman politik masyarakat yang utuh dan rasional. Tokoh-tokoh agama harus mengarahkan pembicaraan keagamaan pada konteks dinamika politik kekinian terutama terkait dengan prilaku dan sikap politisi.
Jainuri, M.Si.
Dosen dan Kepala Biro Kemahasiswaan Universitas Muhammadiyah Malang
Penulis Buku Orang Kuat Partai di Aras Lokal