Puan: Tata Ulang Orientasi Pendidikan Tinggi

Author : Humas | Selasa, 00 0000 | Okezone - Okezone

MALANG - Orientasi pendidikan tinggi nasional perlu ditata kembali agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan di masyarakat. Ke depan, Indonesia lebih banyak membutuhkan sarjana dengan kemampuan teknik yang memadai. Namun, sebagian besar pendidikan tinggi saat ini menghasilkan sarjana non teknik. Kondisi tersebut dipandang tidak ideal.

Hal itu disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani, dalam acara Wisuda Sarjana ke-79 Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Sabtu (27/2/2016).

“Orientasi pendidikan tinggi di negara kita perlu ditata kembali. Di Indonesia diduga sekitar 75-85 persen lulusan perguruan tinggi berasal dari bidang non teknik. Hal yang sebaliknya terjadi di Korea Selatan, dengan lulusan sarjana sebagian besar di bidang teknik,” kata Puan.

Banyaknya lulus perguruan tinggi dari bidang non teknik tidak terlalu kondusif untuk mendukung penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dan peningkatan daya saing. Padahal, dalam rangka peningkatan daya saing di Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), pemerintah akan mengalokasikan lebih dari Rp 5. 000 triliun untuk pembangunan infrastruktur. “Hal itu tentu membutuhkan banyak tenaga kerja dari bidang teknik. Jangan sampai peluang ini nantinya hanya dinikmati oleh pekerja asing,” tegas Puan Maharani.

Menko PMK juga mengungkapkan, selama ini pihak swasta berperan besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Setidaknya saat ini ada 3.958 perguruan tinggi swasta atau lebih dari 95 persen. Sementara jumlah perguruan tinggi negeri kurang dari 5 persen. Karena itu, diakui Puan Maharani, pemerintah memang perlu lebih memberikan perhatian serius kepada perguruan tinggi swasta, khususnya dalam bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap mutu pendidikan yang diselenggarakan.

Tahun 2015 lalu, lebih dari 240 perguruan tinggi swasta mendapat peringatan administratif dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek). Menurutnya, pemerintah memang harus bersikap tegas atas setiap pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, karena hal itu akan menurunkan kualitas pendidikan perguruan tinggi juga.

“Kita menginginkan, pendidikan tinggi betul-betul menjadi ajang untuk menempa mentalitas, keterampilan dan keahlian, serta menghasilkan generasi penerus bangsa, yang berintegritas, beretos kerja dan berkepribadian yang berlandaskan gotong royong,” katanya.

Indonesia harus menyambut golden opportunity dalam bidang kependudukan (bonus demografi) dengan baik. Setidaknya ada dua syarat dalam pemanfaatan bonus demografi, yakni kemampuan untuk menyediakan sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan dan pelatihan dan kemampuan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui revitalisasi program keluarga berencana. Jika kedua hal tersebut tidak dilakukan, justru yang terjadi adalah bencana demografi.

Puan dalam kesempatan ini, secara khusus memberi apresiasi kepada Muhammadiyah yang telah berperan besar dalam mencerdaskan bangsa sampai saat ini. Kontribusi KH Ahmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah, katanya, sangatlah besar dalam membangun mutu pendidikan Indonesia. “Oleh karena itu saya berpesan kepada seluruh wisudawan dan wisudawati, jaga citra almamater dan junjung tinggi nama baik Muhammadiyah. Saudara semua hendaknya menjadi kaum intelektual yang memiliki akhlakul karimah (berakhlak mulia),” katanya.

Ia juga berharap agar lembaga pendidikan menjadi tempat untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, membangun paradigm perubahan, mindset, budaya atau cara hidup yang baik. Perguruan tinggi harus menjadi agen Revoluasi Mental. “Saya mengharapkan perguruan tinggi dapat berperan sebagai agen perubahan, menjadi pendorong perubahan pikiran, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar,” katanya.

Kepada para wisudawan/wisudawati, Puan mengingatkan bahwa selesainya studi di univeristas bukan berarti perjuangan sudah berakhir, sebaliknya, justru menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang. Para sarjana akan berhadapan dengan berbagai tantangan sekaligus harapan dalam menghadapi masa depan. “Saudara-saudara dituntut untuk menampilkan dan mengabdikan seluruh keilmuan dan kemampuan yang telah dipelajari dan didalami selama ini,” katanya.

Ia menekankan, Indonesia tahun ini memasuki MEA sehingga tantangan tentu lebih banyak. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita harus siap bersaing di negeri sendiri maupun di pasar internasional dalam lima elemen liberalisasi, yaitu investasi, barang, jasa, modal dan tenaga kerja terampil. Khusus untuk tenaga kerja terampil, ada 8 (delapan) bidang profesi yang terbuka diantara sesama negara ASEAN, yaitu insinyur, perawat, arsitek, pekerja pariwisata, tenaga medis/dokter, dosen, dokter gigi dan akuntan.

Sumber: http://news.okezone.com/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler