SURABAYA - Kasus sengketa lahan antara warga dan TNI cukup tinggi di Jawa Timur. Kedua pihak saling klaim sebagai pemilik sah lahan yang diperebutkan. Persoalan itu diduga muncul seiring bergulirnya Reformasi dari masa Orde Baru, sekaligus lamanya hak kelola lahan yang diberikan oleh pemerintah kepada warga.
"Tanah-tanah itu sebetulnya adalah milik pemerintah dalam hal ini adalah TNI. Namun, pada waktu sebelum reformasi, tanah itu diberikan kepada warga untuk dikelola bukan sebagai hak milik. Warga bertahun-tahun bahkan turun temurun mengelola tanah tersebut," kata pengamat militer, Muhajir Efendi, kepada Okezone, Jumat (22/3/2013).
Kesepakatan awal, warga hanya mengelola, namun ketika dibutuhkan, TNI berhak mengambil aset tanah tersebut. Karena sudah terlalu lama menggarap, warga beranggapan tanah tersebut bisa menjadi hak milik. Tanah-tanah tersebut memang luas sehingga banyak digunakan untuk area perkebunan.
TNI, baik Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AD) dan Angkatan Udara (AU), mengeluarkan kesepakatan kepada warga untuk mengelola. Sehingga, ketika diminta oleh TNI, warga yang merasa menggarap turun temurun merasa memiliki tanah tersebut.
"Saat TNI membutuhkan akhirnya memicu perlawanan dari masyarakat," ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Terlebih lagi, munculnya 'tukang kompor' yang memanfaatkan situasi dengan melakukan provokasi di tengah warga. Padahal, TNI mengambil tanah tersebut untuk kepentingan militer, seperti untuk latihan perang dan lain-lain.
"TNI sendiri tidak bisa disalahkan, karena memang tanah tersebut secara de jure adalah milik negara dan memang untuk kepentingan negara," ujar pria yang pernah mengenyam pendidikan pendek tentang pertahanan militer di Pentagon, Amerika Serikat itu.
Seperti diberitakan, Dewan Pimpinan Nasional-Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN- Repdem) merilis, dari 25 konflik tanah yang melibatkan militer di Jatim, 12 kasus di antaranya melibatkan TNI AL. Kemudian, TNI AD terlibat di tujuh kasus, dan TNI AU di enam kasus. Total lahan menjadi obyek sengketa mencapai 15.374, 29 hektare yang mayoritas berupa tanah perkebunan sekaligus menjadi tempat tinggal dan mata pencaharian masyarakat.