Ali Fauzi mantan Napiter raih gelar doktor di UMM/Avirista Midaada
MALANG - Eks narapidana teroris (Napiter) Bom Bali Ali Fauzi menyebut pembinaan para kombatan napiter dinilai kurang maksimal oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Hal ini yang ditemukannya selama ia melakukan penelitian tugas akhir disertasi untuk jurusan doktoral pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Pria asal Lamongan ini mengaku tak kaget bila ada beberapa eks napiter kembali ke belenggu paham teroris, seperti yang terjadi di pelaku pengeboman Mapolsek Astana Anyar di Bandung, pada 7 Desember 2022 lalu.
Selama ini dikatakan Ali Fauzi, pembinaan para napiter saat di Lapas belum sepenuhnya menyentuh pada aspek moderasi beragama yang menjadi inti poinnya, sehingga ketika telah bebas dari Lapas, masih memiliki doktrin radikal.
Hal ini yang mendorong Ali menuliskan tugas akhir disertasi berjudul "Edukasi Moderasi Beragama Bagi Para Mantan Napiter", dengan subjek para eks napiter yang ada di Lapas maupun yang sudah bebas.
"Tentu temuan-temuan saya dari hasil wawancara dengan subjek, dengan eks narapidana teroris itu ada temuan baru bahwa jika modulasi beragama dilakukan secara tepat, maka akan banyak eks napiter yang mau kembali. Selama ini pembinaannya belum optimal dan belum maksimal," ucap Ali Fauzi ditemui wartawan ketika penobatan gelar doktornya di UMM, pada Selasa (17/1/2023).
Ali menjelaskan, perlakuan negara ke eks napiter di Lapas masih hanya sebatas memenjarakan secara fisiknya saja, bukan membina secara moderasi beragama hingga ideologinya.
Maka ia tak heran muncul Agus Sujatno pelaku pengeboman Mapolsek Astana Anyar, Bandung yang eks napiter.
"Yang perlu dipertanyakan adalah model pembinaan, kita temukan bahwa di Lapas fokus di bidang edukasi moderasi beragama kurang, lebih kepada pemenjaraan secara fisik saja. Tetapi tidak menyentuh agar mindset pemikiran mereka saat ini," tuturnya.
Hal ini membuat para eks napiter yang ia temui kerap kali belum memiliki pikiran dan pemahaman yang terbuka, seperti halnya masyarakat pada umumnya.
Hal ini yang ia dan yayasannya sesama eks napiter mencoba melakukan pembinaan secara berkelanjutan, setelah keluar Lapas.
"Kendalanya kan paham mereka kan jiwanya sangat tertutup, belum open minded seperti masyarakat pada umumnya, kita sedikit demi sedikit bertahap demi tahap, membimbing mereka, supaya menjadi manusia seutuhnya seperti khalayak ramai di Indonesia," ungkapnya.
Jadi dikatakannya, pembinaan di Lapas kurang mengedepankan persoalan sisi humanis sehingga dapat menyentuh akar persoalannya.
Hal ini memang kerap kali dijumpainya di beberapa eks napiter yang keluar Lapas kemudian bergabung ke yayasannya Lamongan.
"Kalau di Lapas nggak bicara modul, lebih pada humanisnya manusianya begitu pas keluar Lapas tidak terurus. Kalau yang di Lamongan kan dan sekitarnya kan ada kita yang merawat, mengasuh, dan mendidik mereka," paparnya.
"Jadi saya akan mendidik eks napiter dan keluarganya supaya mau kembali ke NKRI, dan berpaham Islam yang rahmatan lil alamin. Tujuan besar saya kuliah di sini, ya ingin mengasah intelektual sayang supaya lebih ahli, lebih pandai di dalam mengurus mereka," tambahnya.
Permasalahan yang ditemuinya kembali saat keluar Lapas yakni kurang dukungan secara ekonomi. Sehingga tak heran beberapa eks napiter yang dibinanya di Yayasan Lingkar Perdamaian ini keluhannya tak jauh-jauh dari keuangan.
Bahkan dirinya menuturkan, pembinaan eks napiter di Lamongan bersama Sumarno bendahara di Yayasan Lingkar Perdamaian, yang juga merupakan eks napiter Bom Bali I, banyak eks napiter yang mengeluhkan persoalan dana.
"(Sumarno) Ponakan saya, dia yang memberdayakan terhadap puluhan (eks napiter) di sana, dan kapasitas beliau sebagai pengusaha, banyak (eks napiter) yang terbaru mungkin pernah dengar kasus Polwan Maluku Utara, yang ikut terjaring ditangkap di Jogja di penjara, sekarang bersama-sama kita di Lamongan," bebernya.
Menurutnya ada ratusan napiter dan keluarganya yang dibina, diberdayakan, dan dibimbing di Lamongan.
Mereka tak hanya diajarkan paham moderasi beragama setelah bebas dari Lapas saja, tapi juga bagaimana membina secara berkesinambungan dari sisi ekonominya.
"Banyak ratusan-lah, nggak sampai kalau ribuan. Dari berbagai daerah, anak-anaknya juga kita bina, jadi Mas wono ini berkecimpung langsung di Lamongan, membina, mengurus, bukan hanya membina pemikirannya, tapi juga membina ekonominya," terangnya.
Memperoleh gelar doktor di kampus putih juga disebut Ali tak semudah yang dibayangkan. Bahkan meski telah linier dari keilmuan S1 di kampus Jakarta dan S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS), Ali mengaku masih kesulitan.
Bahkan karena perjalanan panjang menuliskan disertasinya itu, ia sampai menderita vertigo, sebab harus menjalani revisi berkali-kali dari dosen yang berbeda-beda.
"Saya terus terang saja jauh lebih berat daripada di medan perang. Yang bikin pusing itu perspektif dosen-dosen itu berbeda, dari enam tujuh dosen itu, seluruhnya pola pandang terhadap karya tulis saya berbeda, yang ini nyuruh ini, yang itu nyuruh itu," tuturnya.
"Jadi revisi bolak-balik, sampai saya kena vertigo, jatuh berdarah-darah. Dan sebetulnya saya sudah agak lambat, termasuk semester 7 baru bisa ujian tertutup, bulan lalu, ujian terbuka," imbuhnya.
Kini kendati telah mengantongi gelar doktor, dirinya menyatakan tak berminat menjadi dosen tetap di suatu perguruan tinggi manapun. Ia hanya berfokus membimbing dan memberdayakan para eks napiter, agar kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sepenuhnya.
"Saya sementara lebih fokus pada pembinaan eks napiter, jadi ya saya berguru pada profesor Thabrani, bagaimana menjadi guru yang baik," jelasnya.
Di sisi lain Sumarno eks napiter dari kasus Bom Bali I bersama Amrozi mengakui sulitnya membina para eks napiter, salah satunya dari sisi pemberdayaan ekonominya.
"Ya saya ini kan sebagai bendahara (di Yayasan Lingkar Perdamaian), kebetulan keponakan (Ali Fauzi juga)," kata Sumarno.