PWMU.CO – Belakangan, viral komentar salah satu artis ternama tentang perempuan independen dan pria mapan. Hal itu juga menarik perhatian Luluk Dwi Kumalasari MSi, selaku dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Pernyataan tersebut mencerminkan realitas sosial yang kompleks, namun perlu dipahami secara lebih mendalam.
“Perempuan independen itu adalah perempuan yang berdaya, mandiri, dan memiliki prinsip hidup yang kokoh. Namun, konsep ini sering kali disalah artikan sebagai kebebasan ekonomi semata. Padahal, independensi juga mencakup kemampuan berpikir rasional dan bijak dalam menghadapi berbagai tantangan hidup,” ujar Luluk.
Ia menegaskan bahwa peningkatan jumlah perempuan independen di Indonesia tidak hanya terbatas pada mereka yang belum menikah, tetapi juga pada perempuan yang telah berkeluarga.
Lebih lanjut, Ibu Luluk menyoroti perbedaan konsep antara independensi perempuan dan kemapanan pria. Menurutnya, mapan sering kali dimaknai secara sempit sebagai kecukupan finansial.
“Mapan itu sejatinya lebih luas. Seseorang bisa dianggap mapan ketika ia mantap secara pribadi, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dan mampu memberikan kontribusi kepada orang lain, seperti keluarga,” jelasnya.
Ia juga mencatat bahwa pandemi Covid-19 turut memengaruhi dinamika sosial-ekonomi. Banyak pria mengalami penurunan kelas sosial akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kebangkrutan usaha.
“Fenomena ini bisa saja menjadi dasar persepsi bahwa jumlah pria mapan menurun, tetapi kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih luas. Kemapanan tidak hanya tentang finansial, tetapi juga tentang kemampuan untuk bertahan dan bangkit,” tambahnya.
Dalam era digital, media sosial memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Namun, Luluk mengingatkan pentingnya sikap kritis terhadap informasi yang beredar.
Generasi saat ini cenderung berpikir instan, sering kali membagikan informasi tanpa melakukan verifikasi. Ini sangat berisiko, terutama ketika isu-isu seperti independensi perempuan dan kemapanan pria diperdebatkan.
Ia juga menekankan pentingnya filterisasi dan kritisisasi dalam menyikapi berita di media sosial agar tidak terjebak dalam arus informasi yang menyimpang.
Menurut Luluk, anggapan bahwa peningkatan perempuan independen mengurangi peluang bagi pria merupakan hal yang keliru. Ia mengimbau pria untuk bersikap bijak, dan tidak emosional dalam menghadapi isu ini.
“Pernyataan seperti ini sering kali lahir dari perspektif yang sempit atau kasus tertentu, sehingga tidak mewakili mayoritas. Kita harus menghindari generalisasi yang dapat menimbulkan kebencian antar-gender,” jelasnya.
Sebagai penutup, Luluk menyampaikan pesan kepada generasi muda agar menjadi individu yang bijak, terutama dalam menggunakan media sosial. Ia mendorong anak muda untuk menghargai konsep independensi dan kemapanan secara positif.
“Independen bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan memiliki prinsip yang kuat sambil tetap menghormati orang lain. Begitu pula dengan mapan, ini adalah kualitas yang perlu diraih dengan tanggung jawab dan ketekunan,” tutupnya. (*)