PWMU.CO – Lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat disebabkan tak adanya keteladanan para pemimpin bangsa. Pancasila cenderung hanya diajarkan, minim keteladanan.
Demikian pendapat yang berkembang dalam Kolokium Pancasila bertajuk Refleksi Awal Tahun: Pancasila sebagai Living Values yang diselenggarakan
Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme Universitas Muhammadiyah Malang (PusamUMM) di Ruang Sidang Senat UMM, Senin (22/1/18).
Acara yang digelar bekerjasama dengan The Asia Foundation (TAF) ini dihadiri sekitar 150 peserta yang berasal dari mahasiswa, dosen, dan aktivis sosial.
Direktur Riset Pusam UMM Nafi’ Muthohirin mengatakan, cara merespons terhadap berbagai isu sosial-politik dan keagamaan yang dibarengi dengan narasi kebencian, bahkan yang berujung pada tindak persekusi belakangan ini, diakibatkan oleh hilangnya modal sosial yang sebelumnya melekat dalam diri bangsa ini.
Modal sosial sebagai bangsa Timur itu, kata Nafi’ seperti toleransi, ramah, terbuka, jujur, adil, suka menolong, musyawarah atau dialog dan rendah hati.
“Semua modal sosial tersebut termuat dalam sila Pancasila. Masalahnya, bangsa ini seperti tercerabut dari akarnya (Pancasila) sehingga yang tampak hari ini kita sering membaca berita kekerasan, intoleransi, atau tindak persekusi oleh ormas yang menggunakan simbol agama. Tentu saja, fakta ini membuat implementasi Pancasila menjadi mundur,” jelas Nafi’.
Sementara Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Prof Dr Hariyono MPd menjelaskan, salah satu faktor yang mendorong tidak terimplementasinya nilai-nilai Pancasila sekarang ini karena kurangnya keteladanan dari elit pemimpin negeri ini. Seperti merebaknya tindakan korupsi oleh pejabat dan para elit negeri.
Sebab itu, kata Hariyono, untuk mengembalikan nilai-nilai Pancasila menjadi kokoh dan implementatif, maka cermin keteladanan harus bergeser kepada komunitas, mahasiswa atau individu yang memiliki prestasi.
“Keteladanan yang berasal dari komunitas atau individu berprestasi justru akan menginspirasi banyak orang, khususnya generasi milenial supaya bisa berbuat yang sama untuk bangsa ini. Nah, salah satu wujud implementasi Pancasila adalah dengan membuat prestasi,” urai Hariyono, yang juga mantan Wakil Rektor I Universitas Negeri Malang (UNM).
Direktur Program HAM dan Pengembangan di The Asia Foundation (TAF) Budhy Munawar-Rachman menjelaskan, kita perlu mengakui bahwa kesadaran untuk kembali menumbuhkan nilai-nilai Pancasila itu kini hidup kembali.
Sebelumnya, tepatnya pasca Orde Baru jatuh, Pancasila menjadi ideologi yang tidak hidup karena hanya diajarkan, tapi tidak ada keteladanan.
Menurut Budhy, nilai-nilai Pancasila tidak cukup bila hanya diajarkan, melainkan juga perlu diuswahkan setiap hari. Tidak juga bisa diajarkan dalam sehari langsung jadi. “Sebab itu, pembelajaran Pancasila perlu dilakukan dengan cara-cara baru. Tema-tema tentang demokrasi, HAM, pluralisme itu diajarkan di dalam kelas, bahkan sampai 18 jam. Sayangnya banyak guru agama di sekolah mengajarkan Islam dan Pancasila sebagai sebuah kajian yang selalu berhadap-hadapan,” jelasnya.
Mereka, tambah Budhy tidak melihat bahwa dasar ideologi Pancasila itu menggabungkan keduanya, karena keduanya adalah alam Indonesia.
“Di dalam menghidupkan Pancasila, semua nilai intelijensia harus dilibatkan. Semua emosi masuk, seperti musik, gerak, dan teori keilmuan,” ujarnya.
Menurut Budhy, yang hilang dari pendidikan kita adalah: Mengajarkan bagaimana mengetahui (learning how to know), mengajarkan bagaimanan melakukan (learning how to do), mengajarkan bagaimana untuk menjadi atau terlibat (learning how to be) dan mengajarkan bagaimana hidup dengan orang yang berbeda ras, agama, etnis dan lainnya (learning how to live together with other).
Dengan mengutip pendapat Yudi Latif, Budhy mengatakan, paradoks Pancasila hari ini adalah pengajarannya yang terkesan verbalis. “Hanya diajarkan, tanpa ada keteladanan,” ucap dia.
Kaitannya dengan hubungan antaragama, dia menyampaikan, relijius sejati sekarang ini harus inter-relijius, bahwa agama lain ada di dalam tempat kita.
Sedangkan Eko Armada Riyanto memaparkan sejarah terbentuknya Pancasila. “Cara kita untuk memahami bangsa adalah dengan memahami riset sejarah termasuk sejarah Pancasila. Sikap diskriminatif yang sering terjadi saat ini dapat mencoreng narasi Pancasila itu sendiri,” ujarnya.
Menurut dia, ekslusifisme bukan hanya bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga bertentangan dengan kodrat dari bangsa. “Kita sekarang tidak lagi membahas dan memermaslahkan lagi tentang ideologi, yang harus dipermasalahkan ialah bagaimana menentukan program yang terbaik bagi bangsa,” tuturnya. (NM)