Jalan Damai dalam Pemenuhan Hak Keseteraan Gender

Author : Humas | Rabu, 21 Juni 2023 13:01 WIB | Radar Kediri. - Radar Kediri.

Oleh: Emelly Princeston

Oleh: Emelly Princeston

Di era milenial, isu hak dan kesetaraan gender merupakan sebuah isu di tengah masyarakat dunia yang hadir sejak abad ke 19. Fenomena gender menjadi isu yang tiada habisnya diperbincangkan, dimana isu gender kerap kali terjadi akibat munculnya kesenjangan gender dominasi antara laki-laki dengan perempuan sehingga mengakibatkan diskriminasi pada perempuan dalam akses dan pengendalian sumber daya, kesempatan, status, hak, peran, dan penghargaan.

Dalam perkembangan isu pemenuhan hak dan kesetaraan gender, perempuan sering ditindas dan dianggap bahwa perempuan jauh lebih lemah, dengan begitu perempuan juga menjadi paling rentan dalam mengalami kekerasan. Walaupun gerakan memperjuangkan hak perempuan, yakni emansipasi wanita muncul sekitar sejak di akhir era tahun 1800 yang bermula dari pelopor ideologi feminis oleh kaum wanita barat.

Ideologi feminis berupaya untuk menuntut persamaan hak-hak kaum wanita terhadap hak-hak kaum pria di segala bidang kehidupan, dimana para kaum feminis menuntut pemenuhan hak dan kesetaraan mereka sebagai manusia, mereka ingin para wanita untuk sama sama memiliki hak dan kesempatan yang sama antara laki laki dan perempuan dalam bidang keluarga, pendidikan dalam menempuh ilmu, hak politik, sosial, budaya, ekonomi, kesempatan bekerja.

Namun di Indonesia hal-hal yang melibatkan kasus gender ini masih banyak terjadi, terutama dipicu oleh faktor belenggu budaya patriarki di Indonesia yang sering meremehkan dan membanding bandingkan dari beberapa faktor yang dilihat antara laki laki dan perempuan, dimana laki laki posisinya dianggap lebih tinggi, lebih kompeten, lebih mampu, dan superior daripada perempuan. Mindset bahwa perempuan masih sering dianggap sekedar hanya menjalani tugas sesuai kodratnya sebagai ibu rumah tangga, sehingga dirasa tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi seperti laki laki yang harus bekerja dan mencari nafkah nantinya.

Bagi kaum feminisme stereotip budaya patriarki justru menimbulkan beberapa fenomena yang dialami oleh perempuan baik kekerasan fisik maupun non fisik, bias terhadap hak dan kesetaraan gender yang semestinya sama sama memiliki hak dan kesempatan itu, akan tetapi tentu hal itu tidak akan terjadi selama budaya patriarki ini masih melekat. Adanya patriarki akan menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Dilansir dari CNN Indonesia yang mengulas data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2021, konflik kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam hingga mencapai 26.200 kasus dimulai sejak tahun 2019. Persentasenya mencakup hingga 39% korban kekerasan fisik maupun non fisik yang dialami oleh perempuan di Indonesia.

Selain tindakan kekerasan yang semakin meningkat, disisi lain juga terdapat fenomena bias gender yang sering terjadi di Indonesia. Perilaku bias gender muncul disebabkan oleh ketidakadilan gender akibat sistem dan struktur sosial yang menempatkan laki-laki ataupun perempuan pada posisi yang merugikan.

Salah satunya terjadi ketimpangan bias gender di Dusun Jambu Monyet, Madura ketimpangan perlakuan, sehingga dalam satu pihak merasa dirugikan akibat mengalami ketidakadilan akibat ketimpangan gender pada perempuan perihal urusan rumah tangga lebih banyak dibebankan  kepada  perempuan  daripada  laki-laki, yang seharusnya ada pembagian secara adil di antara keduanya, akses pendidikan terbatas, karena dianggap hanya akan menikah saja.

Padahal semestinya kedua gender ini harus mendapatkan hak dan kesempatan yang sama terutama dalam pendidikan yang sesuai dengan norma agar saling menghargai satu sama lain sehingga dapat tercipta perdamaian. Jika kita melihat pendidikan karakter di negara maju, salah satunya Jepang terdapat proses penanaman moral pada anak. Selain melalui pendidikan, lingkungan keluarga sangat berperan besar dalam proses mendidik seorang anak, terutama peran perempuan sebagai ibu sangatlah dibutuhkan untuk mendorong anak-anaknya untuk menciptakan keseimbangan dalam pendidikan yang tujuannya demi keberhasilan di lingkungan sosial.

Indonesia negara dengan memiliki budaya yang beragam dapat menjadi sebuah potensi besar dalam mencegah adanya kekerasan di kemudian hari. Edukasi, pendidikan merata, dan sistem budaya yang baik dapat dikombinasikan bagi moralitas anak didik bangsa sebagai upaya terwujudnya perdamaian. Sebab anak harus dididik sedini mungkin untuk mendapatkan moral yang baik. Sikap kepemimpinan dan kepintaran yang dimiliki perempuan sangat diperlukan untuk mendidik anak-anak  yang nantinya akan menjadi generasi penerus keluarga dan bangsa.

Menurut saya, dalam penciptaan perdamaian antara laki-laki dan perempuan dapat terwujud di kemudian hari jika pondasi awal yakni edukasi ideologi feminisme mengenai gender equality dapat dimaknai dan diterapkan, mementingkan pendidikan baik untuk laki laki maupun perempuan dapat terpenuhi dengan cara yang baik serta sejalan dengan keadaan sosial yang aman.

Jika ditelaah secara mendalam, kekerasan terutama pada perempuan terjadi akibat faktor kekerasan langsung, kekerasan kultural dan kekerasan struktural yang dimana karena konstruksi sosial mengakibatkan kesenjangan gender. Maka dari itu perlu adanya pemahaman pemenuhan hak dan kesetaraan gender bagi setiap orang. Sehingga, kekerasan terhadap orang dapat musnah, dan kontroversi penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak perempuan harus dilakukan dengan cara moralitas pendidikan yang baik, mengedukasi ideologi feminisme terhadap masyarakat domestik dalam budaya budaya hukum yang bias dan ketimpangan gender, memperbaiki substansi, serta struktur.

Dalam isu bias gender, perlu adanya dekonstruksi hukum dan pendekatan ideologi feminisme supaya dapat memfokuskan pendapat dari sudut pandang pengalaman perempuan, karena dalam hal ini diperlukannya hermeneutika dan dekonstruksi hukum dalam dominasi positivisme hukum yang menjamin adanya kepastian hukum. Maka, netralitas dan objektivitas hukum akan terwujud hanya bila hukum tersebut bersifat tertutup dan otonom dari berbagai perspektif moral, agama, filsafat, politik, sejarah, dan bahkan jenis kelamin. (Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang)

Editor: Anwar Bahar Basalamah

Sumber: radarkediri.jawapos.com/opini/781299763/jalan-damai-dalam-pemenuhan-hak-keseteraan-gender
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Arsip Berita

Berita Terpopuler