BERBAKAT: Muhammad Syahrullah S.R. menunjukkan piagam penghargaan juara 3 Lomba Essay Mahasiswa Nasional 2023 yang berhasil dia raih.
Keterbatasan ekonomi keluarga tak menghalangi semangat Syahrul untuk menempuh pendidikan tinggi. Dia memutuskan hijrah dari Makassar ke Malang dengan mengandalkan beasiswa. Selama dua semester menjalani perkuliahan, pemuda 22 tahun itu sudah rutin menyabet penghargaan di bidang karya tulis.
MUHAMMAD Syahrullah tak pernah malu untuk bercerita tentang latar belakang keluarganya yang serba kekurangan. Dia merupakan anak keenam dari sembilan bersaudara. Kakak-kakaknya rata-rata hanya sekolah hingga SMP saja. Hanya kakaknya yang nomor lima bisa menyelesaikan pendidikan hingga SMA.
Berkat kemauan tinggi, Syahrul akhirnya mampu menembus pendidikan tinggi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Itu pun menjadi keputusan berat sekaligus perjalanan yang tidak mudah demi mengejar impian keluar dari keterbatasan ekonomi.
Saat membahas Ujung Pandang, kota kelahirannya, mata Syahrul sontak berkaca-kaca. Ingatannya langsung tertuju pada beban berat yang dipikul sang ayah. Hampir setahun Syahrul tak bertemu langsung dengan pria yang telah membesarkannya itu. Komunikasi selama ini hanya bisa dilakukan melalui WhatsApp Call.
Sehari-hari, ayah Syahrul bekerja sebagai buruh hijau. Tugasnya memikul barang penumpang di pelabuhan yang hendak naik atau turun dari kapal. ”Dari keringat ayah memikul tumpukan koper itulah, saya dan keluarga menjalani hidup,” ucapnya.
Penghasilan orang tuanya pun tak menentu. Namun kondisi itu justru membuat Syahrul bertekad untuk terus sekolah. Baginya, hanya dengan menjadi orang terdidik, nasib keluarganya bisa berubah.
Syahrul masih ingat betul saat sang ayah dulu mengajaknya ke pelabuhan. Ketika ada kapal bersandar, bayangan mendapatkan uang pun datang, meski kadang tak seberapa. Begitu penumpang turun, sang ayah berebut mengangkat barang dengan buruh pikul lainnya.
Tak jarang ayahnya memikul dua hingga tiga koper sekaligus karena berpacu dengan waktu. “Kalau langsung dipikul semua kan nggak bolak-balik. Setelah itu bisa cari penumpang lain untuk ditawari jasa pikul. Padahal satu koper saja sudah berat,” tuturnya.
Kalau penumpang kapal sedang banyak, uang ratusan ribu rupiah bisa dibawa pulang. Namun, tak jarang dalam sehari tidak mendapat sepeser pun. Tak ada gaji tetap yang bisa diharapkan meski berstatus sebagai buruh resmi. Uang hanya bisa didapat dari penumpang yang menggunakan jasa pikul.
Kadang upah yang diterima ayah Syahrul bukan berupa uang. Melainkan barang dan makanan. Upah seperti itu tak pernah ditolak. Tetap dianggap rezeki. Daripada pulang tidak mendapat apa-apa, itu sudah dianggap lebih baik.
Dengan kondisi seperti itu, keinginan Syahrul untuk mengenyam pendidikan tinggi sering dicemooh. Bahkan oleh saudara-saudaranya sendiri. Tapi cemoohan itu justru menjadi energi yang terus membesar. ”Saya harus berpendidikan tinggi, meski tidak ada biaya dari keluarga,” ujarnya.
Cara yang paling rasional adalah dengan mencari beasiswa. Khususnya yang bisa meng-cover semua kebutuhan pendidikan. Beruntung dia bisa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar untuk kuliah di jurusan Ekonomi Syariah UMM. ”Sebelum berangkat ke Malang, saya sempat bekerja di sebuah perusahaan di Makassar. Jadi ada sedikit bekal untuk perjalanan,” imbuhnya.
Jiwa kompetisi sebenarnya sudah dimiliki Syahrul sejak kecil. Selama duduk di bangku SD, dia selalu menempati posisi tiga terbaik di kelas. Beberapa ajang lomba juga rutin ia ikuti. Terutama dalam Olimpiade sains dan sosial.
Tradisi juara itu mampu dipertahankan hingga kini. Baru menempuh dua semester di UMM, Syahrul sudah mengoleksi beberapa piala. Terakhir dia menyabet juara tiga dalam Pekan Olimpiade dan Seni Akbar Nasional (POSAN).
Perlombaan itu diselenggarakan oleh Platform Gudang Prestasi Indonesia akhir Januari lalu. Tentu prestasi itu bukan satu-satunya. Sebelumnya Syahrul juga pernah menyabet bronze medalist kategori paper ilmiah dengan sub tema lingkungan. Kemudian silver medalist kategori poster ilmiah dengan sub tema energi, sekaligus terpilih menjadi poster ilmiah favorit. Ya, prestasi Syahrul kini tak jauh-jauh dari karya tulis.
Uniknya, semua karya tulis itu dia ketik di smartphone android. ”Ponsel itu saya beli pada 2019 dari uang tabungan sendiri,” ucapnya. Syahrul memang tak memiliki laptop. Jika benar-benar perlu, dia terpaksa meminjam laptop temannya untuk mencari referensi yang tak bisa diakses melalui ponsel.
Kini, Syahrul bertekad terus memegang komitmen untuk tidak merepotkan orang tua. Uang beasiswa yang dia diterima tak boleh salah pemanfaatan. Selagi ponsel yang dia miliki masih bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan berbagai tugas kuliah dan menulis karya, laptop pun tak perlu dibeli.
Setelah lulus S-1 nanti, Syarul masih punya mimpi melanjutkan studi ke luar negeri. Sebab, sebelumnya dia sempat diterima di salah satu perguruan tinggi di Malaysia. Namun gagal berangkat akibat biaya keberangkatan sementara harus ditanggung pribadi terlebih dahulu.
”Orang tua saat itu sempat menyayangkan keputusan saya mundur dari beasiswa di Malaysia. Sampai sekarang saya tidak pernah menjelaskan apa alasannya,” tutupnya. (*/fat)