Ardhika Krisna S. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jurusan Hubungan Internasional.
Oleh: Ardhika Krisna S
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jurusan Hubungan Internasional
SEIRING dengan berjalannya waktu, teknologi berkembang pesat berkat tangan ide manusia. Kemudahan komunikasi jarak jauh yang dapat dilkukan hanya dengan menekan tombol layar ponsel, bertransaksi, hingga mudahnya akses untuk mendapatkan berbagai macam layanan informasi yang dibutuhkan.
Namun, walaupun masyarakat memanfaatkan perkembangan teknologi yang pesat dengan cara yang baik, ada beberapa manusia yang memanfaatkan perkembangan teknologi tersebut dengan kejahatan. Kejahatan teknologi atau dunia maya, dapat menganggu sekuritas personal bahkan nasional. Maka dari itu, untuk membasmi bibit-bibit kriminal ini, pemerintah berupaya supaya pelaku tindak kejahatan cyber bisa ditangkap, salah satunya melalui perjanjian ekstradisi dengan negara asing.
Cyber crime merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh individu maupun kelompok yang melibatkan dunia maya menggunakan jaringan atau perangkat komputer. Tak hanya itu, pencurian perangkat lunak hingga keras, manipulasi data, mengubah program, pornografi, hingga mengakses ke jaringan lainnya secara illegal juga masuk dalam kategori cyber crime. Tindakan ini biasannya menyasar ke data pribadi seseorang, instansi, bahkan meyasar ke layanan pemerintahan.
Lalu untuk apa data tersebut? Sebagian besar pelaku menjual data tersebut ke orang yang membutuhkan atau disimpan untuk kepentingan pribadi mereka. Tentu hal tersebut akan merugikan siapapun termasuk menjadi salah satu ancaman yang tidak bisa dihindari.
Pengelompokan cyber crime dibedakan menjadi beberepa jenis, pertama ’’Hacker’’ yang seringkali kita dengar dengan kata lain yakni peretas. Kedua adalah ’’Carding’’ yang merupakan aktivitas pencurian hingga berujung pada perdagangan secara illegal. Ketiga yakni ’’Defacer’’ yang merupakan tindakan oknum yang lebih condong mengarah ke pergantian tampilan suatu website secara illegal.
Terakhir yakni ’’Spammer’’ yang mana tindakan ini adalah tindakan pengiriman pesan dan email ke alamat e-mail secara acak yang jumlahnya secara masif dan dilakukan berulang kali. Lalu ada tindakan cyber crime lainnya seperti serangan virus, cracking, phising, spoofing, dan lainnya tergantung bagaimana pelaku ini merencanakan kejahatannya.
Sebut saja Indonesia, negara dengan pengguna gadget atau vintage hingga internet yang besar di Asia tenggara.
Menurut salah satu sumber, yakni Survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan judul ’’Penetrasi dan Perilaku Penggunaan Internet Indonesia 2017’’ menyebutkan penggunaan internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa (ditsmp.kemdikbud, 2021).
Selain itu ada Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan bahwa terdapat setidaknya 800 ribu situs hoaks di internet sepanjang tahun 2015. Wakil Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Syafruddin juga mengatakan bahwa sudah 90 juta kali Indonesia diserang melalui dunia maya dengan berbagai jenis penyerangan (Rizky, 2018).
Lalu survei dari IT Security Economics 2020 yang dilakukan Kapersky memaparkan sebanyak 37 persen Usaha Kecil Menengah (UMKM) di Asia Tenggara mendapatkan serangan cyber yang mana angka tersebut lebih besar dibandingkan rata-rata global yang sebesar 33 persen (Azizah, 2020).
Merujuk pada kejahatan cyber skala internasional lainnya. Singapura merupakan negara anggota ASEAN yang negaranya bertetangga dengan Indonesia. Pada tahun 2017, website militer Singapura diretas oleh oknum. Kementerian Pertahanan Singapura menduga bahwa serangan ini disponsori oleh negara maupun instansi luar. Sebanyak 2.400 data pribadi pegawai hingga pejabat di Kementerian Pertahanan Singapura dan Tentara Angkatan Bersenjata Singapura telah dicuri.
Pelaku peretasan menggunakan Phising untuk menyebarkan malware ke jaringan perusahaan melalui e-mail pegawai. Data yang dicuri oleh peretas antara lain nama lengkap, nomor identifikasi, nomor ponsel, alamat e-mail, alamat rumah, hingga rekening pribadi. Manajemen ST Logistic melakukan investigasi terkait dugaan peretasan dengan melibatkan tim keamanan siber internal dan eksternal (Riza, 2019).
Dari contoh kasus yang dipaparkan oleh penulis, tentu dapat disimpulkan bahwa kejahatan siber menjadi salah satu serangan non fisik yang fatal terhadap individu, instansi hingga global. Tentu pelaku kejahatan rupanya tidak hanya dilakukan di satu negara, melainkan dari luar negara bahkan di luar kawasan.
Maka dari itu, negara atau kawasan perlu untuk menegakkan perjanjian ekstradisi supaya dapat memudahkan dan menjembatani aparat untuk menangkap pelaku yang berada di luar negara khususnya ASEAN. Apa itu perjanjian ekstradisi di ASEAN? Perjanjian ekstradisi ASEAN merupakan sebuah perjanjian antara anggota negara ASEAN di mana terjadi penyerahan pelaku dari negara anggota ASEAN yang tertangkap lalu diserahkan kembali ke negara asal untuk diproses secara hukum yang berlaku.
Bentuk perjanjian ekstradisi ASEAN salah (Putri dan Gischa, 2021) diatur secara sah dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 yang berdasarkan suatu perjanjian dan atas hubungan baik serta kepentingan Negara Republik Indonesia jika menghendakinya.
Upaya ASEAN dalam menangkap tindak kejahatan di luar negeri melalui perjanjain ekstradisi cukup efektif. Selain untuk menangkap pelaku, perjanjian ini juga berfungsi sebagai penegakan hukum secara internasional maupun nasional. Tak hanya dirasakan oleh satu dua negara, melainkan satu kawasan ASEAN merasakan dampak positifnya. Sehingga dengan adanya perjanjian ini, mampu membangun stabilitas politik serta keamanan dan mempererat kerja sama antar negara anggota ASEAN lainnya.
Dengan adannya media berupa perjanjian ekstradisi ASEAN, diharapkan mampu untuk membendung dan mengayomi pengguna dunia maya untuk bebas dari kejahatan cyber. (*)