Oleh: Syanaa Putri Herla Dita Ayuningtyas
Mahasiswa Akuntansi Universitas Muhammadiyah Malang
SETIAP rumah tangga mempunyai tingkatan idealnya masing-masing yang menunjuk dalam keharmonisan. Keharmonisan dapat dicapai melalui komunikasi asosiatif. Komunikasi asosiatif sendiri merupakan komunikasi positif, membentuk tatanan dalam kelompok sosial, sehingga anggota-anggota yang harmonis membentuk pola kerjasama. Dengan kata lain, komunikasi ini melibatkan kolaborasi di mana pemahaman dan penerimaan masih dalam proses. Adapula komunikasi asosiatif di mana kita mentolerir kompromi timbal balik. Komunikasi secara asosiatif merupakan bagaimana para pelaku dan rekannya berkomunikasi sebagai akibatnya bisa mengikuti keadaan buat mencapai kesepahaman. Perilaku komunikasi asosiatif dapat tercermin ketika pasangan mengatur keuangan keluarga, memilih tugas dan tanggungjawab dalam rumah tangga. Artinya ketika pasangan menjalani perkawinan dan mengalami akulturasi atau penerimaan kebudayaan terhadap pasangannya membentuk konvensi pada tempat tinggal tangga.
Hal demikian yang bisa mencapai komunikasi asosiatif pada tempat tinggal tangga. Ketidaktercapainya komunikasi asosiatif, maka pasangan tadi akan mengalami komunikasi disosiatif. Komunikasi ini akan menimbulkan tanda-tanda abnormal atau tanda-tanda bersifat patologis yang mengakibatkan gangguan sosial pada penghuni atau keluarga pasangan. Fenomena ini disebut kasus sosial. Salah satu kasus sosial tersebut adalah perceraian. Perceraian adalah usaha untuk melepaskan ikatan suami dan istri menurut suatu perkawinankarena sebab-sebab tertentu. Perceraian terjadi lantaran sudah tidak adanya jalan keluar (dissolution marriage).
Berdasarkan data perceraian menurut Data Keluarga 2017 Kabupaten Polewali Mandar perempuan menikah dibawah 21 tahun tertinggi di Sulawesi Barat sebanyak (34.941) orang, laki-Laki dibawah usia 25 tahun mencapai (29.092) orang. Sedangkan angka perceraian tiap tahunnya cenderung terus meningkat. Provinsi Sulawesi Barat khususnya pada Pengadilan Agama Kabupaten Polewali Mandar mencatat terjadi peningkatan dari 490 kasus perceraian di tahun 2015 menjadi 507 kasus di tahun 2016, dan 74 persennya adalah gugat cerai. (Pengadilan Agama Polewali Mandar, 2016).
Pernikahan diharapkan menjadi pernikahan yang membawa pasangan menjadi keluarga yang sejahtera dan langgeng. Pernikahan usia muda yang dilakukan oleh seseorang dengan usia remaja, rentan terhadap berbagai permasalahan karena secara psikologis remaja belum mampu mengendalikan emosinya. Meningkatnya kasus perceraian yang terjadi berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah pernikahan usia muda. Kustiariyah (2007) menduga bahwa fenomena maraknya dan mudahnya perceraian sedikit banyak ditentukan oleh program infotainment nikah-cerai selebriti yang disiarkan oleh hampir semua media elektronik. Diakui bahwa tayangan televisi 24 jam sehari di media elektronik menyebabkan perubahan nilai masyarakat.
Menurut Nuryat (2007), hal ini berbeda dengan masa lalu, dimana pasangan (khususnya istri) memilih untuk bertindak lebih protektif terhadap keutuhan keluarganya, apapun situasinya. Namun kini tampaknya begitu mudahnya pasangan suami istri lebih memilih bercerai untuk menyelesaikan masalah keluarga. Nampaknya perubahan nilai sosial masyarakat Indonesia saat ini menyebabkan angka perceraian semakin tinggi.
Perceraian pada Indonesia didominasi oleh cerai gugat atau cerai yang diajukan oleh pihak istri. Angka perceraian dan juga cerai gugat pada Indonesia setiap tahunnya selalu meningkat. Bahkan perbandingan cerai gugat (diajukan oleh istri) berbanding menggunakan cerai talak (diajukan oleh suami) sebesar 70:30
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan maraknya kasus perceraian di Indonesia :
Sebanyak 35% jurnal menyatakan faktor penyebab perceraian merupakan lantaran komunikasi yang buruk. Terdapat kabar bahwasannya komunikasi yang buruk membangun kasus yang lebih luas, seperti: keliru satu pasangan tidak merasa dihargai, keliru satu pasangan tidak mampu diajak berbagi, keliru satu pasangan tidak terdapat ketika dibutuhkan .Komunikasi yang buruk juga ditimbulkan lantaran jeda tempat tinggal antar pasangan. Hal ini berlaku dalam pasangan yang keliru satunya bekerja pada luar negeri
Sebanyak 35% jurnal menyebutkan bahwa salah satu penyebaab perceraian adalah perselingkuhan. Perselingkuhan yang terjadi pun beragam, sekedar melakukan pesan teks secara daring sampai ke kondusi zina yaitu berhubungan layaknya suami istri. Salah satu masalah yang terjadi yaitu, masih ada pasangan pada suami yang kerap berselingkuh & bergonta-ganti wanita. Seorang istri tidak menyukai sifat ini, hingga akhirnya menggugat cerai suaminya. Menurut penelitian, diketahui bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan pasangan suami istri mempunyai wanita ataupun laki-laki idaman lain ditimbulkan lantaran kondisi ekonomi yang kurang & rendahnya pemahaman mengenai hak & kewajiban menjadi seseorang suami ataupun istri.
Faktor sosial dan budaya daoat mempengaruhi perceraian. Banyak jurnal membahas bagaimana faktor sosial dan budaya memnpengaruhi perceraian. Salah satunya karena pernikahan antar suku di Indonesia. Ada konflik dan hambatan dalam bentuk komunikasi. Pasangan beda etnis ini mengalami hambatan kesalahpahaman berdasarkan pola pikir, perbedaan persepsi, perbedaan bahasa, dan komunikasi nonverbal. Kesalahan komunikasi non-verbal disebabkan oleh perbedaan budaya. Kemudian perbedaan budaya ini terkait dengan munculnya konflik dalam konteks hubungan interpersonal pasangan berbeda etnis. (*)