Warga berswafoto dengan Remaja asal Citayam yang viral, Bonge (tengah) di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Area sekitar taman Stasiun MRT Dukuh Atas menjadi ruang publik favorit yang ramai didatangi oleh kalangan remaja dari daerah pinggiran Ibu Kota. Kedatangan mereka untuk menghabiskan waktu libur sekolah dengan bercengkrama bersama sahabat dan membuat konten media sosial. Republika/Putra M. Akbar | Foto: Republika/Putra M. Akbar
REPUBLIKA.CO.ID,MALANG -- Citayam Fashion Week masih menjadi perbincangan yang hangat di kalangan pengguna media sosial (medsos) akhir-akhir ini. Fenomena mengenai para remaja berpakaian nyentrik yang memadati kawasan Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat ini bahkan menarik minat media internasional seperti Tokyo Fashion.
Melihat hal itu, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari memberikan penjelasannya. Luluk mengatakan, kepopuleran tersebut menuai banyak pro dan kontra. Sebagian masyarakat mengapresiasi cara kreatif para remaja mengekspresikan diri melalui fashion.
"Sebagian lainnya menilai bahwa aksi para remaja ini mengganggu dan membuat kumuh kawasan Sudirman," ucapnya.
Menurutnya, Citayam Fashion Week merupakan fenomena yang wajar. Hal ini didasarkan pada naluri manusia sebagai makluk sosial untuk membentuk kelompok sesuai karakteristik dan tujuan tertentu.
Komunitas Citayam Fashion Week terbentuk oleh beberapa anak muda yang tingggal di daerah Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok. Sebagai daerah penyangga ibu kota, para anak muda ini memiliki kreativitas yang lebih di bidang mode. Luluk melihat keberadaan Citayam Fashion Week ini merupakan sarana para anak muda untuk mengungkapkan diri mereka secara jujur melalui sebuah mode.
Kepala Program Studi (Kaprodi) Sosiologi UMM tersebut berpendapat, fenomena Citayam Fashion Week tidak hanya berkenaan dengan perkembangan tren mode. Perkembangan medsos juga turut mempengaruhi keberadaan tren ini.
Para remaja di Citayam Fashion Week memanfaatkan medsos untuk menjadi terkenal dan mendapatkan uang. Hal ini juga melahirkan banyak selebritas Instagram dan TikTok seperti Jeje, Bonge, Kurma, Roy dan lain-lain.
Masifnya keberadaan media sosial mempengarui cara para remaja untuk berkreasi dan Citayam Fahion Week menjadi wadah baru untuk mereka. Selain itu, dengan munculnya komunitas ini juga menjadi sebuah wacana baru bahwa mode yang selama ini identik dengan kalangan atas, juga bisa dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah.
Selain itu, Luluk menjabarkan beberapa dampak positif lain dari kemunculan tren ini. Salah satunya, yakni para remaja menjadi lebih memahami kehidupan bersosial. Kreativitas para remaja sebagai content creator di medsos juga meningkat. Kemudian keberadaan para remaja ini juga meningkatkan penghasilan para Pedangan Kali Lima (PKL) yang berada di sekitar Sudirman.
Selain dampak positif, hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif. "Seperti budaya buang sampah sembarangan dan cara berpakaian yg dinilai terlalu terbuka,” ujar dosen kelahiran Jombang itu dalam pesan pers yang diterima Republika, Selasa (19/7/2022).
Untuk melakukan pengurangan dampak negatif, maka perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak terutama pemerintah. Hal-hal yang bisa dilakukan seperti dengan mengedukasi, mengarahkan, dan pendampingan kepada para remaja. Langkah ini bertujuan agar komunitas ini tetap berlangsung namun dengan minim dampak buruk.
Secara keseluruhan, Luluk memandang tren ini sebagai hal yang positif. Dia berharap Citayam Fashion Week dapat menjadi komunitas yang dikenal secara positif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia Internasional. Ia juga berharap komunitas ini dapat menunjukkan sebuah budaya fashion baru yang memiliki karakter sendiri.