REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Masyarakat Indonesia belakangan ini dibuat geram oleh kasus perundungan anak SMP yang terjadi di Cilacap. Pelakunya juga tercatat masih berada di bawah umur.
Banyak yang meragukan pelaku mendapatkan hukuman yang tidak sesuai dan dirasa kurang berat. Lalu bagaimana sebenarnya hukum menyikapi kejahatan yang dilakukan anak dan mengapa hukuman yang diberikan cenderung dirasa ringan?
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ratri Novita Erdianti, menegaskan tetap ada pertanggungjawaban pidana bagi anak. Salah satu konsekuensinya adanya pidana penjara khusus bagi anak.
"Ini tercantum pada Undang-undang Sistem Peradilan Anak nomor 11 tahun 2012 sebagai upaya akhir," kata Ratri dalam rilisnya kepada Republika.
Upaya akhir ini dilakukan jika tidak ada cara lain atau telah diusahakan berbagai cara bagi anak sebagai pelaku tindak pidana. Dalam mata hukum, sistem ini disebut ultimum dan remedium.
Hukuman penjara pada anak tidak mudah dijatuhkan. Hal ini karena umumnya penjara memiliki banyak konotasi negatif. Terpaan secara psikologis dan juga stigmatisasi dari masyarakat akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak.
Adapun usia anak yang dapat diberikan pidana pun terbatas, yakni pada rentang 14 sampai 18 tahun. Di bawah usia tersebut, tidak bisa diberikan sanksi atau pidana akhir penjara. Mereka hanya akan diberikan sanksi yang dapat menjerakan pelaku.
Menurut dia, tindakan pidana pada anak harus sangat diperhatikan. Apabila tidak tergolong pelaku tindak pidana berat seperti pembunuhan dan asusila, maka akan diberikan pilihan pidana lain.
"Salah satunya seperti pembinaan dalam suatu lembaga yang diatur dalam Undang-undang Sistem Peradilan Anak, dapat menjadi pilihan yang diambil oleh hakim,” ujar dia.
Ratri juga menyampaikan, terkadang anak tidak menyadari ada beberapa tindakan yang ternyata dapat dihukum atau mendapatkan pidana. Misalnya, penganiayaan sehingga menyakiti orang lain. Maka dari itu, hukuman penjara pada anak sangat dihindari dan tidak dapat langsung diberikan tanpa melakukan banyak pertimbangan.
Dia menyatakan lama masa tahanan pada anak pun telah dijelaskan dalam undang-undang. Tidak ada hukuman penjara seumur hidup dan maksimal masa tahanan pun akan menjadi separuh dari masa tahanan narapidana dewasa. Selain itu, lapas yang disediakan juga khusus bagi anak.
Pelaku yang masih anak-anak akan mendapatkan perlindungan hak untuk dilindungi identitasnya, baik itu dari proses penyidikan hingga putusan hakim. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan efek traumatis bagi anak.
Jika diperhatikan, mungkin bisa mengoptimalkan pilihan lain selain penjara. Namun tidak menurut kemungkinan pilihannya adalah penjara.
Hal yang pasti, kata dia, masyarakat harus memahami bahwa prinsip kepentingan terbaik bagi anak adalah prioritas untuk mendapatkan pertimbangan pidana yang tepat. Apalagi mengingat efek jangka panjang yang berdampak positif atau negatif pada tumbuh kembangnya.