Foto: www.freepik.com
Film pendek garapan tiga mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi UMM berjudul Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu meraih penghargaan Honorable Mention dalam ajang Student World Impact Film Festival.
REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Film pendek garapan tiga mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi UMM berjudul Tidak Mati, Aku Tetap Menjadi Milikku Selalu meraih penghargaan Honorable Mention dalam ajang Student World Impact Film Festival (SWIFF) 2023, Amerika Serikat. Festival film yang diikuti 120 negara itu berlangsung secara daring bulan lalu.
Berkat penghargaan tersebut, ketiganya juga sukses menyelesaikan studi dan lulus tanpa skripsi. Salah satu mahasiswa UMM, Chu Livia Christine Wijaya mengatakan, film ini juga masuk seleksi di Lift-Off Filmmaker Sessions by Lift-Off Global Network 2023.
Menariknya, film yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Not Dead, I Remain Mine Always itu membuat dia dan dua rekannya yaitu Muhammad Ammar Nashshar Yusuf sebagai director of photography dan Kiki Rahma Ardiansyah sebagai sutradara lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi UMM lewat jalur non-skripsi dan prestasi.
Perempuan disapa Chuli ini mengaku senang dan bersyukur. Lewat penghargaan ini, film timnya dihargai dan diakui oleh dunia. "Ini juga sebagai pembuktian bahwa anak UMM memang bisa berprestasi di taraf internasional," katanya.
Chuli menjelaskan sinopsis film tersebut yang menceritakan tentang perempuan muda bernama Sukma (14 tahun) yang dijodohkan oleh orang tuanya dengan orang kaya dari kota. Sepekan sebelum hari pernikahannya, Sukma mencari cara agar terhindar dari pernikahan yang tidak diinginkan tersebut. Dengan kata lain, pilihannya antara seperti menunggu waktu kematiannya tiba atau mencoba lari dari kematiannya itu sendiri.
Sebagai seorang anak perempuan yang memiliki kesempatan untuk bersekolah dan berpendidikan tinggi, film ini memiliki pesan kuat dalam kasus pernikahan dini di Indonesia. Bagi sebagian pemikiran orang, pernikahan dini mungkin akan menyelesaikan masalah, apalagi dalam aspek ekonomi. Namun hal tersebut justru memiliki dampak negatif terhadap anak yang dipaksa melakukan pernikahan dini, baik dari segi fisik hingga mental.
Chuli juga menyampaikan proses produksi film ini dilakukan selama empat hari yang lokasinya mengambil latar tempat di Kota Malang, Kota Batu, Pujon Kidul dan pantai Malang Selatan. Namun persiapan dari mulai penulisan naskah sampai final draft, reading dan pencarian talenta yang ada pada pra-produksi dibutuhkan waktu sebulan. Ditambah pascaproduksi sekitar empat sampai lima bulan lamanya.
Ia berharap, film ini dapat memberikan pesan baik untuk para penonton. Ia juga berharap film tersebut bisa mendapatkan penghargaan lainnya. “Pesan untuk teman-teman yang masih ragu untuk berkarya yaitu coba saja dulu, coba saja dulu, mulai aja dulu, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada nasib karya yang kita buat,” jelasnya dalam pesan resmi yang diterima Republika.