Din Berjanji Tidak Jadikan Muhammadiyah Kendaraan Politik

Author : Humas | Sabtu, 09 Juli 2005 | Suara Karya - Suara Karya

MALANG (Suara Karya): Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2010 menjanjikan komitmen moral selama menjabat dan siap dikritik kalau dinilai keluarga besar Muhammadiyah telah menyimpang.

Hal ini ditegaskan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin sewaktu menyampaikan pidato dalam acara perpisahan dengan PP Muhammadiyah periode sebelumnya di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dome, Malang, Kamis malam.

 

"Ada usulan agar dibuat kontrak moral, tapi kami pikir lebih tepat komitmen yakni anggota PP Muhammadiyah bersedia, berniat dan berkhidmat untuk Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya serta menunjukkan keaktifannya," kata Din di hadapan sekitar 2.000 peserta muktamar.

Dia menambahkan, PP Muhammadiyah tidak akan menjadikan Muhammadiyah sebagai "kendaraan" politik terutama untuk pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009.

Namun, Din mengingatkan, hal itu bukan berarti Muhammadiyah menjauhi politik. "Yang dijauhi adalah politik kepartaian. Tetapi Muhammadiyah harus bersikap pula terhadap persoalan besar bangsa ini," ujar Din yang juga Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Din juga menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak tergantung kepada figur karena sifat kepemimpinannya kolektivitas. "Sistem kita yang kuat itulah yang menjadi pilar Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan bangsa," kata Din yang kelahiran Sumbawa, 31 Agustus 1958.

Din juga berjanji tidak akan besikap "one man show" selama memimpin Muhammadiyah lima tahun ke depan, karena kebersamaan di dalam tubuh Muhammadiyah merupakan modal penting dan telah teruji selama ini.

Sementara itu Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2000-2005, Ahmad Syafii Ma`arif dalam pidato perpisahannya mengingatkan agar warga Muhammadiyah tidak lekas-lekas menghukum generasi mudanya yang mempunyai pemikiran berbeda tentang penafsiran keagamaan.

"Asalkan mereka tidak melanggar akidah, tetap salat, berpuasa, jangan salahkan mereka," kata Syafii.

Syafii Ma`arif juga meminta maaf soal wacana dukung-mendukung selama Muktamar ke-45 Muhammadiyah. Dia juga berpesan kepada para fungsionaris PP Muhammadiyah supaya tetap menjaga persyarikatan, kompak, jangan berjalan sendiri serta mengambil keputusan bersama terhadap masalah yang terbilang besar. "Pengurus jangan takut dikritik," kata dia mengingatkan.

Bagi Syafii, pidato tersebut mungkin pidato terakhirnya di hadapan muktamirin karena dia kemungkinan sulit menghadiri acara-acara seperti tanwir atau muktamar mengingat usia yang semakin menua. "Saya mohon maaf kalau selama ini pasti banyak yang salah di perbuatan dan ucapan," kata Syafii.

Sementara bagi Din Syamsuddin, Syafii merupakan guru bangsa dan tokoh moralis yang langka ditemui di Indonesia. "Bagi kami, Syafii Ma`arif merupakan Ketua PP Muhammadiyah, kalau kami hanya meneruskannya saja," ujar Din.

Din juga mengatakan, Syafii tidak akan lepas dari Muhammadiyah dan persyarikatan melalui PP Muhammadiyah meminta Syafii menjadi salah seorang penasihat Muhammadiyah.

Mengenai kedekatannya dengan sejumlah artis, Din mengakui hal tersebut menjadi bagian dari dakwah kultural karena untuk bersikap keras tujuan dari dakwah itu sendiri tidak akan tercapai.

Indonesia, menurut dia, saat ini terkena krisis yang amat berat namun sebagai umat muslim harus tetap optimis menghadapinya. "Tantangan kita tiga K, yakni kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan serta kesulitan untuk saling bertemu," kata Din.

Sementara itu, Din juga mengingatkan, Islam dan umat Islam di Indonesia merupakan faktor penentu kemajuan atau kemunduran bangsa karena merupakan pihak yang mayoritas di Indonesia.

"Peran Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya, harus mendorong agar Islam membuat kemajuan dan perubahan bagi bangsa Indonesia yang kini terpuruk," katanya. Muhammadiyah juga telah berperan aktif dalam memajukan Indonesia bahkan sebelum negara ini terbentuk.

"Sejak awal didirikannya Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dachlan, gerakan yang dilakukan salah satunya melalui pendidikan guna mencerdaskan bangsa," kata Din yang juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu.

Namun, dia menambahkan, Muhammadiyah tidak dapat sendirian dalam membangun bangsa ini sehingga dibutuhkan kerja sama dengan organisasi lainnya seperti Nahdatul Ulama (NU).

 

"Muhammadiyah dan NU harus menjadi tenda besar seluruh umat Islam serta berbagai pihak demi kemajuan bangsa dengan cara salah satunya membangun dialog pemikiran," kata Din. (Andira/Ant)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114620
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler