Flu Babi Muncul, Pemerintah Sibuk Sendiri

Author : Humas | Jum'at, 29 Mei 2009 | Suara Karya - Suara Karya

Media massa di Tanah Air memberitakan bahwa flu babi sudah menjalar di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia sudah melakukan antisipasi pencegahan dengan penempatan tim media ke seluruh negeri jiran itu. Bahkan, beberapa peternakan babi sudah berada dalam pengawasan pemerintah. Kamboja juga siaga. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen malah mengusulkan diadakan KTT ASEAN darurat berkaitan dengan wabah itu.

Begitu menghebohkannya virus itu, sampai-sampai WHO harus mengganti istilah flu babi menjadi H1N1. Sebab, flu itu telah disalahartikan. Di Mesir terjadi pembantaian sekitar 300 ribu ekor babi.

 

Virus flu babi memang berawal dari babi, namun virus flu yang mewabah kali ini merupakan virus strain baru yang memiliki gen dari virus manusia, burung, dan babi. Para ilmuwan tidak mengetahui bagaimana sebenarnya virus ini berpindah ke manusia. Ditegaskan WHO, dalam wabah yang melanda saat ini, virus itu disebarkan dari manusia ke manusia, bukan dari kontak dengan babi.

Kita tidak akan mendiskusikan mengenai flu itu, apa pun istilahnya. Yang jelas, virus itu telah menakutkan masyarakat dunia. Pertanyaannya adalah tindakan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia? Bukankah wabah itu lebih hebat dampaknya daripada flu burung yang juga pernah menghebohkan dunia, khususnya Indonesia?

Saat ini tak ada kegiatan yang sangat menyibukkan para elite politik kita (pemerintah dari tingkat presiden, wapres, menteri) kecuali mengurusi politik. Mereka sedang disibukkan untuk menyongsong pemilihan presiden (pilpres) atau sesuatu yang orientasinya kekuasaan. Urusan politik telah menyita mereka untuk tidak mengurusi masalah lain, termasuk masalah flu babi.

Lihat misalnya, dari presiden hingga menteri disibukkan dengan urusan politik. Bagi menteri yang memimpin sebuah partai politik, ia tidak peduli lagi dengan urusan-urusan kenegaraan. Ia sangat sibuk dengan orientasi kekuasaan. Bagi menteri yang tidak berada dalam lingkup parpol, mereka seolah kena pengaruh juga. Mereka terkena virus untuk tak berbuat apa-apa. Barangkali mereka berpikir, biarlah nanti urusan kenegaraan diurusi oleh menteri periode selanjutnya.

Yang tidak kalah pentingnya, ada menteri yang menjelang pilpres tampil habis-habisan di media televisi dengan membuat iklan layanan masyarakat. Lihat apa yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menkop UKM). Kedua menteri ini seolah memanfaatkan momen politik sebagai salah satu cara untuk mendongkrak popularitas diri. Jika tidak seperti itu, mengapa iklannya baru muncul sekarang? Orang akan berpikir, ada apa dengan iklan tersebut?

Kalaupun peduli dengan kepentingan masyarakat akan pentingnya koperasi dan pelayanan pendidikan gratis, bukankah akan sia-sia karena menteri terpilih nanti belum tentu akan meneruskan programnya? Sebab, sudah menjadi rahasia umum bahwa "jika ganti menteri, berarti ganti kebijakan". Jadi, kepentingan popularitas dan orientasi pada kekuasaan sangat transparan sekali.

Mereka ini tidak pernah berpikir apakah yang dilakukannya itu (urusan politik) merugikan rakyat atau tidak. Ada dua saja orientasinya, yakni mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan.

Tak terkecuali, kebiasaan pemerintah kita baru akan bertindak setelah ada korban atau sesuatunya terjadi. Lihat misalnya, pemberantasan flu burung baru gencar dilakukan setelah banyak korban. Bangsa kita belum terbiasa untuk mengantisipasi sebelum sesuatu terjadi. Pembagian bantuan langsung tunai (BLT)-terlepas dari masalah pro-kontranya-baru dikeluarkan setelah banyak masyarakat miskin meninggal akibat ketertekanan ekonomi.

Kita juga baru sadar akan kepemilikannya ketika Pulau Sipadan-Ligitan akhirnya jatuh ke Malaysia berdasarkan sidang Mahkamah Internasional (MI) pada tanggal 18 Desember 2002. Dalam sidang itu, MI telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan pertimbangan efektivitas. Yakni, Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata di Malaysia selama 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.

Bahkan, "keserakahan" Malaysia tidak berhenti sampai di situ. Negara jiran itu juga pernah mengklaim bahwa reog (yang selama ini dikenal dari Ponorogo) adalah miliknya. Ini belum termasuk bagaimana para tenaga kerja wanita (TKW) di Indonesia diperlakukan "tidak bijak" di negara itu.

Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa pemerintah kita begitu terlambat dalam menanggapi berbagai kasus. Kita sering kali baru sadar ketika peristiwa sudah terjadi dan meminta korban. Itu saja belum tentu menyelesaikan masalah.

Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika masalah flu babi tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Dalam keadaan "normal" saja pemerintah terlambat menangani, apalagi saat ini disibukkan dengan Pilpres 2009.

Memang, elite politik boleh sibuk, tetapi bukankah mereka masih resmi sebagai pejabat pemerintah? Mengapa para menterinya juga sibuk sendiri-sendiri?

Sementara itu, kenyataan ini menjadi santapan empuk pihak-pihak yang menjadi seteru politik pemerintah. Lihat PDIP sudah nyaris kehilangan isu kecuali dengan hanya terus mengkritik kebijakan pemerintah. Memang boleh, tetapi ada kecenderungan asal beda dan hanya mencari-cari kesalahan pemerintah. Ini tidak bermaksud membela pemerintah, tetapi kenyataan itu sangat jelas terjadi saat ini.

 

Sibuk mengurusi politik memang tidak salah, tetapi membiarkan korban akan berjatuhan akibat wabah flu babi, janganlah.***
Penulis adalah staf pengajar pada Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=227909
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler