Merespons Positif Gerakan Hemat BBM
Author : Humas | Senin, 15 Agustus 2005 | Suara Karya - Suara Karya
Respon cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan jajarannya menyiapkan langkah untuk melakukan aksi penghematan energi nasional, baru-baru ini pantas diapresiasi. Selain merupakan upaya untuk mengatasi kelangkaan BBM (bahan bakar minyak), langkah ini sekaligus untuk mengantisipasi kecenderungan makin naiknya harga minyak dunia. (Suara Karya, 25/6/2005).
Yang perlu diingat, budaya hemat dan efisien ialah perkara yang amat sulit diterapkan dalam kehidupan masyarakat kita. Sulit karena tidak ada contoh yang kuat dan konsisten dari pemerintah. Mengapa pemerintah? Karena pemerintah ialah konsumen terbesar anggaran pendapatan dan belanja negara. Gaji pegawai negeri saja bisa mencapai Rp 50 triliun dengan tingkat efisiensi yang amat rendah. Belum lagi, belanja-belanja rutin lainnya.
Kampanye penghematan BBM sebenarnya sudah dicanangkan sejak pemerintahan Presiden Soeharto. Sayangnya, kampanye hanya menjadi sekadar imbauan tidak disertai sanksi meskipun kondisinya memungkinkan.
Kalau pemerintah berhasrat melakukan penghematan BBM maka itu harus lebih dulu dilakukan di instansi-instansi pemerintah. Aksi percontohan yang bermakna efisiensi ini tetap penting sebab masyarakat cenderung masih melihat ke atas, sekalipun untuk hal-hal menyangkut kepentingannya sendiri.
Selain menyangkut keteladanan, penghematan energi di instansi-instansi pemerintah akan turut mengurangi beban BUMN (badan usaha milik negara) yang menghasilkan energi seperti listrik. Bukankah instansi pemerintah termasuk yang rajin menunggak pembayaran listrik?
Program penghematan energi versi pemerintah perlu ditindaklanjuti dengan membangun sistem transportasi massal yang lebih baik. Dewasa ini, pemerintah endorong penghematan BBM tetapi tidak membangun sistem transportasi yang mendukung terwujudnya pengurangan konsumsi produk minyak mentah oleh masyarakat. Contohnya, pemerintah getol merealisasikan pembuatan jalan tol padahal ia akan mendorong pembelian kendaraan bermotor.
Alasan klasik yang sering dikemukakan adalah pemerintah kekurangan dana, hingga menyerahkannya kepada swasta. Padahal kita mengetahui, investasi asing di Indonesia sebetulnya merupakan implementasi konsep terpadu yang diselaraskan dengan kepentingan nasional hingga tidak mungkin ada perbenturan di antara mereka.
Pemerintah harus mengambil keputusan tegas dalam pembangunan proyek-proyek transportasi massal yang akan menghemat penggunaan energi serta lingkungan. Bukankah masih ada investor negara lain yang berminat? Kita harus memanfaatkan persaingan di antara negara-negara Asia Timur?
Di lain pihak, penghematan energi oleh dunia usaha terutama akan sangat ditentukan oleh harga BBM itu. Bila harganya sudah tidak ekonomis lagi, mereka akan cenderung mencari sumber energi alternatif lain. Industri oleochemical misalnya, telah memanfaatkan bahan bakar methil esther untuk menggantikan solar dan gas. Jadi, pemerintah sebetulnya dapat berperan sebagai fasilitator, misalnya, dengan memberikan berbagai kemudahan bagi industri yang hemat BBM.
Rakyat sudah sejak dulu dininabobokan hidup dalam alam yang "gemah ripah loh jinawi", hingga sikap hemat bukan bagian dari kehidupan. Hal ini disuburkan strategi pembangunan yang menghasilkan masyarakat yang serba konsumtif. Jadi, kebiasan hidup konsumtif ini sudah berurat berakar. Penghematan telah dianggap pengekangan. Dalam suasana seperti inilah, kita harus berhemat menggunakan BBM?
* * *
Bagaimanapun penghematan BBM mesti dilakukan untuk mengatasi krisis BBM yang terbukti menimbulkan dampak yang luas. Tak hanya keharusan antre berjam-jam untuk mengisi bensin di SPBU-SPBU, masyarakat pun dihadapkan pada kemungkinan tidak dapat menikmati listrik secara normal akibat pemadaman bergilir, seperti dilakukan di sejumlah daerah, baru-baru ini. Penyebabnya, sejumlah pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyuplai listrik Jawa dan Balik terpaksa berhenti beroperasi karena kekurangan pasokan BBM.
Yang perlu diingat, hingga saat ini BBM masih menjadi sumber energi utama di pembangkit-pembangkit listrik yang ada. Akibatnya, biaya yang mesti ditanggung PLN untuk pengadaan BBM pun sangat besar, apalagi di saat harga minyak dunia yang terus melambung. Diperkirakan, porsi biaya BBM mencapai 64 persen dari keseluruhan biaya energi yang dikeluarkan PLN setiap tahun. Sementara biaya untuk energi menyedot 40 persen dari total biaya operasional PLN per tahun.
Kondisi keuangan PLN yang kembang-kempis, memaksanya untuk berutang kepada Pertamina. Di sisi lain, hal itu pun mempengaruhi kinerja Pertamina yang juga kesulitan uang. Kelangkaan BBM jelas menyudutkan posisi Pertamina. Tiadanya dana untuk pengadaan BBM menjadi alasan klasik yang dikemukakan. Lambatnya pencairan dana subsidi dari pemerintah menjadi kambing hitam. Meski akhirnya pekan lalu dana itu cair, namun toh tetap terlambat. Kelangkaan minyak telanjur terjadi di sejumlah wilayah.
Namun, kondisi stok BBM masih belum aman. Pertamina harus pandai-pandai mengelola stok yang ala kadarnya, di tengah ketiadaan dana. Akibatnya, hitung-hitungan bisnis menjadi alat utama. Ada uang, ada BBM. Itulah yang terjadi dalam hubungannya dengan PLN. Pada akhirnya PLN pun akan berkilah untuk memadamkan listrik dengan alasan ketiadaan BBM.
Kisah tersebut adalah kenyataan pahit yang ternyata masih harus terjadi di negara kita, yang tak lama lagi berusia 60 tahun. Manajemen sumber daya tak mampu diciptakan secara efektif oleh pemerintah. Dua BUMN yang memegang peran sangat vital bagi masyarakat, yakni PLN dan Pertamina, dibiarkan dalam kondisi tak menentu, dan mengarah pada keterpurukan.
Kesulitan keuangan yang tak jelas kapan akan berakhir, jelas mengancam fungsi-fungsi pelayanan publik yang diemban. Baik PLN maupun Pertamina, kini terperangkap dalam kondisi yang maha pelik. Dalam kondisi darurat seperti itu, rasanya tidak tepat apabila pemerintah tetap membiarkan cara penyelesaian dilakukan ala kadarnya, sesuai prinsip-prinsip bisnis mengingat keduanya berstatus persero. Tampaknya pemerintah memang perlu intervensi kebijakan agar fungsi pelayanan publik dapat pulih seperti sedia kala. ***
Penulis, mahasiswa Tarbiyah FAI
Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=118326
Shared:
Komentar