Muhammadiyah Harus Go Internasional
Author : Humas | Senin, 04 Juli 2005 | Suara Karya - Suara Karya
JAKARTA (Suara Karya): Guru Besar IAIN Surabaya, Prof Dr Syafik Muhyi menilai saat ini Muhammadiyah memerlukan seorang pemimpin yang mampu memberi masukan pemikiran serta kebijakan bagi dunia Islam di tingkat internasional.
"Dulu Muhammadiyah banyak memiliki pemikir besar yang mempengaruhi dunia Islam secara internasional, karenanya saat ini perlu dicari kembali para pemikir itu," kata Syafik dalam dialog di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Malang, Minggu.
Menurut dia, peran Muhammadiyah yang saat ini banyak berkecimpung di tingkat internasional, memberi hal penting bagi umat Islam Indonesia. "Muhammadiyah harus go international untuk membangun jaringan dan kesan bahwa Islam tidaklah sama dengan terorisme," kata Syafik yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjko itu.
Terbentuknya sejumlah cabang-cabang istimewa Muhammadiyah di luar negeri, ujar dia, akan semakin memperkuat peran Muhammadiyah di dunia Islam internasional.
Sementara itu Rektor Universitas Hamka Jakarta, Qomari Anwar mengatakan, Muhammadiyah masih memiliki kelemahan khususnya dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
"Kualitas sumber daya manusia kita masih banyak yang rendah, hal ini juga menjadi tantangan bagi pemimpin Muhammadiyah selanjutnya," kata Qomari yang juga masuk dalam 39 calon ketum Muhammadiyah 2005-2010.
Rendahnya kualitas tersebut, menurut Qomari, salah satunya disebabkan belum meratanya kualitas lembaga pendidikan yang dikelola Muhammadiyah.
Namun, dia mengingatkan, hal itu bukanlah halangan bagi Muhammadiyah untuk mengambil peran lebih banyak di kalangan Islam internasional. Dia menambahkan, sistem di Muhammadiyah yang menempatkan 13 orang selaku Pengurus Pusat (PP) membuat kepemimpinan bersifat kolektif. "Untuk posisi ketua umum, sebaiknya juga memiliki `feeling` politik yang tinggi," ujar Qomari.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ahmad Syafi`i Ma`arif diminta bersikap netral menjelang pemilihan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang baru dalam Muktamar ke-45 Muhammadiyah yang berlangsung di Malang, Jawa Timur, 3-8 Juli 2005.
"Tokoh-tokoh Muhammadiyah jangan menempatkan diri sebagai `godfather`. Muhammadiyah bukan organisasi seperti partai politik karena dengan sistem politik seperti sekarang para elite politik atau pengurus partai sangat menentukan mobilitas kader," kata Zainuddin Maliki, Rektor Universitas Malang kepada pers di Malang, Minggu.
Dia menambahkan, posisi yang bagus bagi Buya --panggilan akrab Syafi`i-- adalah tetap bersikap netral mengingat latar belakang calon ketua umum yang banyak.
Menurut Zainuddin, siapa pun yang terpilih sebagai ketua umum hasil pleno 13 anggota yang diperas dari 39 nama calon anggota tetap Pimpinan Pusat Muhammadiyah berarti dialah kader terbaik yang memiliki peluang terpilih sebagai ketua umum.
Sebelumnya, dalam pidato iftitahnya ketika membuka Tanwir, 1 Juli lalu, Buya sempat mengeluarkan penyataan yang mempromosikan nama Rosyad Sholeh dan A Malik Fajar.
Zainuddin menegaskan, pernyataan Buya memperlihatkan inkonsistensi sebagai pimpinan yang sudah tidak berada pada posisi netral.
Dia menilai, akan lebih bijaksana jika peserta dipersilakan mengambil keputusan sendiri-sendiri tanpa intervensi dan mobilisasi dari pihak manapun.
"Silakan saja muktamirin menggunakan pertimbangan dan akal pikiran yang sehat untuk memilih kader Muhammadiyah yang terbaik. Kalau tidak, kita tidak akan melihat muktamar berjalan secara beradab dan bermartabat," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Bidang Agama Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Armyn Gultom mempertanyakan sikap Panitia Muktamar yang mengundang sejumlah anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai peninjau pada Muktamar ke-45 Muhammadiyah di Malang, 3-8 Juli 2005.
"Kenapa PP mengundang lebih 50 persen anggota DPR-RI dari Fraksi PAN menjadi peninjau muktamar sementara rumusan Muhammadiyah dengan tegas adalah menjaga jarak yang sama dengan seluruh partai politik," kata Armyn di Jakarta, Minggu.
Menurut Armyn, dengan hanya mengundang fraksi PAN adalah suatu keberpihakan luar biasa sehingga Muhammadiyah dianggap diskriminatif terhadap partai lain.
Dia menegaskan, hal tersebut amat bertentangan dengan rumusan politik Muhammadiyah. "Kalau mau mengundang, seharusnya mengundang seluruh fraksi dari berbagai partai politik," ujar dia.
Dia menambahkan, sikap politik Muhammadiyah yang diskriminatif itu juga bertentangan dengan tema muktamar yang sedang berlangsung, "Jelang Satu Abad Muhammadiyah, Tajdid Gerakan Untuk Pencerahan Perubahan."
"Makanya, saya amat menyayangkan undangan yang ditandatangani Rosyad Sholeh dan Haidar Nasir itu atas nama PP Muhammadiyah kepada Fraksi PAN.
Dia berharap, peserta muktamar mempertanyakan kenapa hal tersebut dilakukan karena Muhammadiyah sepakat tidak berpihak ke salah satu partai politik manapun. (Victor AS/Ant)
Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=113959
Shared:
Komentar