Muhammadiyah Jangan Tergiur Kekuasaan

Author : Humas | Minggu, 10 Juli 2005 | Suara Karya - Suara Karya

Desakan agar organisasi Muhammadiyah untuk melibatkan diri dalam politik praktis semakin kencang saja disuarakan. Tidak hanya dari eksternal Muhammadiyah, tapi suara desakan itu juga muncul dari dalam Muhammadiyah sendiri. Mereka menuntut agar organisasi Islam ini mulai tegas menunjukkan warna politiknya, tidak melulu abu-abu, malu-malu, yang malah membuat bingung warganya dalam bersikap pada pilihan politik seperti di pemilu.

Arus kuat untuk membawa Muhammadiyah terjun dalam berpolitik praktis ini bisa dilihat dalam pelaksanaan muktamar ke 45 di Malang, Jawa Timur, yang ditutup Jumat (8/7) kemarin.

 

Laiknya seperti organisasi massa atau partai politik, dalam pelaksanaan muktamar kali ini, muncul tim sukses dari setiap calon ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tim sukses ini, kabarnya bergerilya mendekati peserta muktamar bahkan 13 fungsionaris Pengurus Pusat Muhammadiyah terpilih saat menentukan siapa di antara mereka yang akan ditetapkan sebagai ketua umum PP Muhammadiyah.

Meski tidak ada bukti yang kuat, namun isu penggunaan politik uang sempat muncul walau "bau"nya tidak sekuat dalam kongres partai atau ormas berorientasi politik. Namun, tetap tak terbantahkan bila beberapa "tokoh" Muhammadiyah melakukan penggalangan dengan mengumpulkan peserta muktamar di satu tempat, untuk diberikan "pengarahan".

Fenomena seperti ini boleh dibilang hal yang baru dalam sepanjang sejarah Muhammadiyah. Dalam pelaksanaan muktamar yang lalu-lalu, tidak pernah muncul fenomena tim sukses atau upaya penggalangan peserta muktamar.

Peserta muktamar diberikan kesempatan sepenuhnya tanpa tekanan atau desakan untuk memilih ketua umum. Bahkan, ada semacam kemandirian untuk memilih karena sistem pemilihan ketua umum yang bersifat kolegial justru bisa memunculkan tokoh ketua umum yang tidak pernah dijagokan.

Bahkan lagi, ada satu masa di mana 13 calon ketua umum PP Muhammadiyah malah saling menolak untuk maju dan saling menunjuk rekannya lah untuk memimpin.

Fenomena tim sukses dan penggalangan ini setidaknya menyalahi "khittah" kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid di Kampung Kauman, DI Yogyakarta pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M.

Awalnya, Muhammadiyah merupakan gerakan yang sepenuhnya demi kemaslahatan umat seperti melakukan pemberantasan tahayul, bid`ah, churafat (TBC). Jauh dari kepentingan politik kekuasaan. Orientasi Muhammadiyah yang kuat di bidang kesejahteraan dan pendidikan ini bisa dilihat dari eksistensi Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang memiliki amal usaha yang mengagumkan di sektor pendidikan dan kesehatan.

Para pendiri Muhammadiyah berharap, melalui upaya peningkatan kesehatan dan pendidikan sehingga merangsang munculnya peradaban baru yang lebih modern di kalangan masyarakat.

Muhammadiyah tampil sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam yang memiliki banyak sekolah, perguruan tinggi/universitas, rumah sakit, panti asuhan, atau minimarket yang berlabelkan Muhammadiyah dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Sekali lagi, benar-benar jauh dari pertarungan tarik menarik politik di antara kekuatan kekuasaan seperti parpol dan elite politik.

Bergesernya sedikit orientasi Muhammadiyah di muktamar kemarin, bisa dilihat saat mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Amien Rais dituding berusaha mempengaruhi peserta muktamar dengan terus mengkampanyekan salah satu calon ketua umum. Begitu juga tokoh Muhammadiyah seperti Syafii Ma'arif dan Malik Fadjar juga mencalonkan figurnya masing-masing.

Situasi ini meski dianggap sebagai dinamika demokrasi, namun setidaknya menunjukkan bahwa sudah ada pergeseran peran, fungsi serta aspirasi agar Muhammadiyah menjadi lebih intens terhadap politik praktis. Tarik menarik di antara tokoh-tokoh Muhammadiyah menjadi semacam pembenaran bahwa bagaimana pun Muhammadiyah adalah organisasi yang sangat diperlukan bagi siapa pun yang ingin berkuasa atau bahkan untuk menambahkan kekuasaan. Ringkasnya, Muhammadiyah telah menjadi alat bargaining politics bagi para elite dan tokoh politik di negeri ini.

Menarik disimak bagaimana Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir yang meminta dengan lugas dan terbuka agar PP Muhammadiyah 2005-2010 tidak melarang warganya untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke PAN. Soetrisno Bachir juga meminta pengurus Muhammadiyah jangan dilarang untuk berpolitik di PAN.

"Yang dilarang semestinya adalah para pemimpin Muhammadiyah yang berpolitik di partai lain, karena yang dulu membidani kelahiran PAN adalah Muhammadiyah," katanya.

Ia mengaku setuju dengan Syafii Ma`arif (Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005) bahwa pengurus Muhammadiyah jangan berpolitik. "Tapi, jangan ada larangan untuk masuk PAN. PAN jangan disamakan dengan partai lain," katanya.

"Ke depan, saya ingin pemimpin Muhammadiyah tidak melarang aspirasi politik warganya kepada PAN. Sangat aneh bin ajaib kalau warga Muhammadiyah tidak memilih PAN," katanya. Dalam pemilu 2004, perolehan suara PAN masih belum signifikan. "Hanya sekitar 36 persen saja warga Muhammadiyah yang menyalurkan aspirasi kepada PAN," katanya.

Karena itu, tampilnya Din Syamsuddin sebagai ketua umum PP Muhammadiyah juga telah mengguratkan kekhawatiran; apakah Din Syamsuddin takkan menggunakan Muhammadiyah sebagai kendaraan politiknya atau kekuatan lain ?

Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Drs H Muhajir Effendy, MAP menjamin Din Syamsuddin tidak akan membawa Muhammadiyah ke politik.

"Beliau orang yang sangat inten dalam percaturan politik sehingga banyak pihak yang menganggap tidak proporsional Din memimpin Muhammadiyah, namun saya yakin Din tidak akan membawa Muhammadiyah ke politik," ujar Muhajir.

Dalam pidato pelantikannya, Din Syamsuddin berjanji tidak akan menjadikan Muhammadiyah sebagai "kendaraan" politik terutama untuk pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009.

Namun, Din mengingatkan, hal itu bukan berarti Muhammadiyah menjauhi politik. "Yang dijauhi adalah politik kepartaian. Tetapi Muhammadiyah harus bersikap pula terhadap persoalan besar bangsa ini," katanya.

Din juga menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak tergantung kepada figur karena sifat kepemimpinannya kolektivitas. "Sistem kita yang kuat itulah yang menjadi pilar Muhammadiyah dalam menghadapi tantangan bangsa," kata Din yang kelahiran Sumbawa, 31 Agustus 1958.

Din juga berjanji tidak akan besikap "one man show" selama memimpin Muhammadiyah lima tahun ke depan, karena kebersamaan di dalam tubuh Muhammadiyah merupakan modal penting dan telah teruji selama ini.

Bahkan, untuk menjamin netralitas Muhammadiyah, Din Syamsuddin menegaskan, keharusan larangan rangkap jabatan bagi pimpinan Muhammadiyah dengan partai politik.

"Sesuai kesepakatan di Muktamar ke-45 Muhammadiyah, aturan dasarnya bagi pimpinan Muhammadiyah mulai tingkat pusat hingga daerah dilarang adanya rangkap jabatan dengan partai politik," katanya.

Dia juga menambahkan, Muhammadiyah dengan tegas tidak memiliki hubungan dengan partai politik manapun dan menjaga jarak yang sama dengan partai politik lainnya. "Muhammadiyah tetap fokus terhadap gerakan dakwah yang guna pencerahan peradaban, sesuai dengan kulturnya sejak dulu," tambahnya.

Menarik untuk disimak pernyataan Syafii Ma`arif bahwa Muhammadiyah harus lebih intens di bidang pendidikan dan kesehatan ketimbang politik kekuasaan. "Belasan sampai puluhan ribu sekolah yang dimiliki merupakan jumlah yang tak ada duanya di dunia, kampus UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) hanyalah sebagian dari amal usaha kami," katanya.

Apalagi, katanya, bangsa Indonesia pada umumnya menghadapi persoalan yang cukup kompleks, tidak hanya persoalan ekonomi dan politik, tetapi juga kesehatan.

"Wabah penyakit lumpuh layu, polio yang diikuti dengan busung lapar yang mencuat ke permukaan, membuat kita semakin terbuka bahwa sebenarnya Muhammadiyah yang merupakan bagian dari anak bangsa menghadapi persoalan yang begitu kompleks," katanya.

Dengan kata lain, Syafii Ma'arif dan banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah serta di luar Muhammadiyah, tetap menginginkan agar Muhammadiyah tidak tergiur pada kekuasaan karena ambisi segelintir elite di Muhammadiyah.

 

Muhammadiyah harus konsisten untuk bergerak di tingkat praktis dalam membantu masyarakat yang dililit banyak persoalan kehidupan. Harapan seperti inilah yang ditaruh di pundak Din Syamsuddin sebagai nakhoda baru Muhammadiyah. Quo Vadis Muhammadiyah. (Victor A Simanjuntak)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=114710
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared:

Kategori

Berita Terpopuler